Anggaran itu disetorkan dalam 3 tahap. Pada tahap awal, pemerintah menyetor Rp5 miliar. Empat tahun kemudian, di 2007 kembali diserahkan Rp7 miliar. Terakhir pada 2010, pemerintah kembali menyuntik PT AKU sebesar Rp15 miliar.
"Kedua tersangka ini mengelola anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Mengakibatkan kerugian negara yang dihitung oleh pihak BPKP sebesar Rp29 miliar," terangnya.
"Adapun sebenarnya anggaran yang dikucurkan Pemprov Kaltim itu ada sebesar Rp27 miliar. Namun dalam pengelolaannya, ada untung dan laba, sehingga BPKP menyatakan kerugian negara sebesar Rp29 miliar," imbuhnya.
Penyertaan modal itu bertujuan supaya Kaltim memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui kegiatan usaha PT AKU. Namun kedua tersangka tidak menjalankan usaha sesuai ketentuan. Dana sebesar itu dicuci dengan cara membuat sejumlah perusahaan gadungan.
"Para tersangka ini melakukan kerja sama perjanjian selaku penyandang dana dan penyalur solar yang bukan peruntukannya. dengan 9 perusahaan tanpa persetujuan Badan Pengawas dan tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),” kata Prihatin.
Akibatnya, modal usaha itu tidak jelas keberadaannya dan dilaporkan sebagai piutang dengan total modal sekitar Rp31 miliar. Dari 9 perusahaan yang diajak kerja sama, dalam praktiknya 6 perusahaan dinyatakan palsu. Perusahaan fiktif yang mereka buat salah satunya bernama PT Dwi Palma Lestari.
Di perusahaan ini, total modal usaha yang mengalir senilai Rp24 miliar. Belakangan terungkap tersangka Nuriyanto tercatat sebagai direktur PT Dwi Palma Lestari. Sedangkan Yanuar selaku komisaris.
Dalam jangka 4 tahun, keduanya selalu bergantian menjadi direktur dan komisaris. Tujuannya agar perusahaan yang mereka dirikan tersebut dianggap memang ada dan masih aktif.
Menurut Prihatin, PT AKU bergerak di bidang usaha pertanian, perdagangan, perindustrian dan pengangkutan darat. Perusahaan sempat menyumbang pendapatan daerah sebesar Rp3 miliar dalam kurun waktu 2005 hingga 2014.