GULIR KEBAWAH UNTUK MELIHAT BERITA
Trending

UU MD3 Digugat ke MK, Mahasiswa Minta Rakyat Bisa Pecat DPR

DIKSI.CO — Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyatakan tidak mempermasalahkan adanya permohonan uji materi terhadap Undang-Undang tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) yang sedang diajukan lima mahasiswa ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Permohonan tersebut menuntut agar rakyat diberikan kewenangan untuk memberhentikan anggota DPR, sebuah gagasan yang dinilai sebagai bagian dari dinamika bernegara yang wajar.

Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan mengatakan bahwa pengajuan judicial review merupakan hak setiap warga negara.

Menurutnya, keberanian masyarakat untuk menguji aturan yang dianggap tidak sesuai dengan rasa keadilan adalah hal positif dalam negara demokrasi.

“Boleh saja, kita setiap warga negara tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan klaim maupun juga mengajukan gugatan judicial review, itu bagus,” ujar Bob Hasan di Gedung DPR RI, Kamis (20/11/2025).

Ia menekankan bahwa apresiasi tersebut bukan berarti substansi gugatan dianggap benar, melainkan karena proses pengujian undang-undang adalah bagian penting dari kehidupan berdemokrasi.

“Bukan bagus isinya ya. Maksudnya itu memang satu dinamika yang harus terus dibangun. Ketika ada hal yang menurut pikiran dan perasaan umum rakyat Indonesia, ketika ada ganjarannya bisa mengajukan gugatan judicial review. Enggak ada masalah,” imbuhnya.

Kritik terhadap Mekanisme PAW

Salah satu isu utama dalam permohonan uji materi tersebut adalah mekanisme pergantian antar waktu (PAW) yang selama ini sepenuhnya berada di tangan partai politik.

Para pemohon menilai mekanisme itu terlalu eksklusif dan tidak memberi ruang bagi konstituen yang memilih anggota DPR untuk mengontrol wakil mereka di parlemen.

Merespons kritik itu, Bob Hasan menjelaskan bahwa peran dominan partai politik dalam proses PAW adalah bagian dari desain sistem politik Indonesia.

Partai, menurutnya, memiliki tanggung jawab sebagai pengusung calon anggota DPR dan karena itu wajar jika memiliki kewenangan dalam menentukan kelangsungan keanggotaan kadernya di lembaga legislatif.

“Ketika sudah masuk menjadi wakil rakyat, maka itu diatur oleh MD3. Nah, MD3 itu juga termasuk bagian daripada adanya pelibatan partai politik,” katanya.

Terkait kemungkinan PAW dilakukan melalui mekanisme pilihan rakyat atau melibatkan konstituen secara langsung, Bob menyerahkan sepenuhnya kepada Mahkamah Konstitusi untuk menafsirkan UU MD3 dalam kaitannya dengan UUD 1945.

“Sekarang kan semua di Mahkamah Konstitusi itu bukan masalah bisa dan tidak bisa, akan dipertimbangkan sepanjang ada tarikannya dengan UUD 1945,” ujarnya.

Isi Permohonan Mahasiswa

Permohonan uji materi yang teregister dengan nomor perkara 199/PUU-XXIII/2025 itu diajukan oleh lima mahasiswa: Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna.

Mereka mempermasalahkan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3, yang mengatur bahwa pemberhentian anggota DPR diputuskan melalui Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dan partai politik tanpa melibatkan suara rakyat.

Menurut para pemohon, ketiadaan mekanisme pemberhentian oleh konstituen menyebabkan kontrol publik terhadap anggota DPR menjadi tumpul.

Mereka menyebut bahwa banyak kasus di mana partai politik memberhentikan kader tanpa alasan jelas, tetapi di sisi lain mengabaikan tekanan publik terhadap anggota DPR yang dianggap pantas diberhentikan.

Dalam persidangan, Ikhsan menekankan bahwa permohonan mereka bukanlah bentuk ketidakpercayaan atau kebencian terhadap DPR maupun partai politik.

“Permohonan a quo tidaklah berangkat dari kebencian terhadap DPR dan partai politik, melainkan sebagai bentuk kepedulian untuk berbenah,” ujarnya.

Mereka juga mencontohkan beberapa kasus nonaktifnya sejumlah figur publik sekaligus anggota DPR seperti Ahmad Sahroni, Nafa Indria Urbach, Surya Utama (Uya Kuya), Eko Patrio, dan Adies Kadir.

Meski mendapat tekanan publik, para anggota DPR tersebut tidak diproses melalui mekanisme pemberhentian sebagaimana diatur UU MD3.

Hal ini, menurut pemohon, menunjukkan bahwa suara rakyat hanya menjadi formalitas pada saat pemilu tetapi tidak memiliki kekuatan setelah wakil rakyat menjabat.

Dalam petitumnya, para mahasiswa meminta MK menyatakan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa pemberhentian anggota DPR dapat diusulkan oleh partai politik dan/atau konstituen.

Tahap Lanjutan Persidangan

Setelah mendengarkan permohonan dan pandangan para pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo menutup persidangan dengan menyampaikan bahwa perkara tersebut akan dibahas dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).

Rapat itu akan menentukan apakah permohonan dapat diputus tanpa pemeriksaan lebih lanjut atau memerlukan sidang pembuktian tambahan.

Hasil RPH tersebut akan menjadi langkah penting dalam menentukan apakah mekanisme pemberhentian anggota DPR akan tetap menjadi domain internal partai dan MKD, atau membuka ruang lebih besar bagi rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi untuk ikut menentukan nasib wakilnya di parlemen. (*)

Back to top button