Selain itu, publik dapat membandingkannya dengan ketentuan hak dan kewajiban dari pemegang IUPK tersebut. Selama ini, pemerintah hanya mengungkapkan secara umum, bahwa perpanjangan dan pemberian IUPK mempertimbangkan peningkatan penerimaan negara tanpa memberikan penjelasan perbandingan antara dokumen PKP2B dengan IUPK.
Padahal, Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) telah memandatkan bahwa perjanjian, termasuk kontrak dan izin, yang dibuat antara badan publik dengan pihak ketiga merupakan informasi publik (Pasal 11 Ayat 1 e). Selain itu, terdapat sejumlah Putusan Komisi Informasi Pusat maupun Mahkamah Agung yang memperkuat bahwa dokumen izin dan kontrak tambang minerba adalah dokumen yang terbuka.
Di samping sejumlah pertanyaan dan dugaan kejanggalan perpanjangan dan pemberian IUPK untuk PT Arutmin, perlu dicermati juga adanya ketentuan pasal 169 A ayat 4 UU Minerba, dimana Pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk komoditas tambang Batubara WAJIB melaksanakan kegiatan Pengembangan dan/atau Pemanfaatan Batubara di dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, PT Arutmin secara otomatis memiliki kewajiban untuk melaksanakan peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Pertanyaan besarnya, apakah PT Arutmin sudah siap atau masih sebatas komitmen? Bagaimana peran pemerintah memastikan PT Arutmin melakukan peningkatan nilai tambah secara terintegrasi dari hulu ke hilir?
“Berkaca pada pelaksanaan peningkatan nilai tambah di komoditas mineral beberapa tahun lalu,” Aryanto beri komentar:
“Apakah berarti per 1 November 2020 ini PT Arutmin sudah tidak dapat melakukan ekspor batubara (sebagai bahan mentah)?”, ujarnya. (*)