Sistem pertumbuhan ekonomi menyembunyikan fakta dimana angka pertumbuhan ekonomi ditopang kerja gratis perempuan baik di perkotaan dan pedesaan, dimana secara sosial mereka ditempatkan sebagai penanggung terbesar kerja-kerja domestik dan pengasuhan anak. Mereka yang mensubsidi sehingga buruh bisa dibayar murah untuk menopang berlangsungnya sistem ekonomi kapital. Di Kalimantan Timur misalnya, peran reproduksi biologis dan sosial perempuan dalam keluarga memungkinkan tersedianya buruh murah yang diserap perusahaan-perusahaan berbasis ekstraksi alam. Di saat yang sama, perempuan paling menderita akibat bencana ekologis, seperti banjir karena hutan rusak, tercemarnya sungai dan sumber air, hingga matinya anak-anak di lubang tambang (5).
Meskipun begitu, fakta menunjukkan perempuan tidak tinggal diam. Melalui beragam perlawanannya terhadap kekerasan yang diproduksi oleh pengurus negara bersama aparatus keamanan dan korporasi, perempuan-perempuan mengingatkan ada yang harus dikoreksi dari cara kita memperlakukan Tanah Air. Di Sumatera Utara, para perempuan di kabupaten Dairi menolak tambang seng dan timbal PT. Dairi Prima Mineral (milik keluarga Bakrie) yang akan merusak sumber air di pegunungan dan menghancurkan lahan pertanian. “Kami tidak makan dari tambang, tapi dari pertanian.” (6)
Perjuangan serupa disuarakan para perempuan di gunung tumpang Pitu, Jawa Timur yang menolak tambang emas PT. Bumi Suksesindo dan PT. Damai Suksesindo (milik keluarga Thohir). “Kami bisa hidup tanpa emas tapi tidak bisa hidup tanpa air.(7)
Pemerintah harus mengutamakan keselamatan warga, agar warga damai dan lestari, jangan mementingkan korporasi dan investasi”, ujar mereka. Di Sulawesi, para perempuan desa Ganda ganda memprotes pertambangan dan pabrik nikel bersama PLTU batubara milik pengusaha China (PT CORII) yang mencemari udara dan pesisir serta mengganggu kesehatan. (8)
Di Kabupaten Mimika, Papua, para perempuan memprotes PT. Freeport karena limbahnya mencemari enam sungai, kawasan pesisir, dan sumur-sumur mengalami sedimentasi. Akibatnya perempuan harus berjalan jauh mencari air bersih, mengalami penyakit pernafasan dan kaki mudah kram. (9)
Awal bencana Lumpur Lapindo, 29 Mei 2006, diperingati sebagai HATAM atau Hari Anti-Tambang. Tahun ini diperingati hingga 5 Juni, tepat hari lingkungan hidup internasional. Bencana lumpur Lapindo lima belas tahun lalu dan gugatan-gugatan perempuan di sekitar proyek-proyek ekstraksi alam, mestinya menjadi desakan agar pengurus negara berhenti memproduksi kekerasan, dan segera bergeser dari pembangunan ekonomi berbasis ekstraksi alam menuju model ekonomi yang menjamin keselamatan rakyat, keberlanjutan layanan alam dan membatasi akumulasi kekayaan para oligarki. (*)
Catatan:
[1] Dinas Kesehatan Sidoarjo (2020) melaporkan Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) di tiga kecamatan yakni Jabon, Tanggulangin, dan Porong mencapai 35.480 orang. Lalu laporan Puskesmas Porong per Maret 2021 menyebutkan anak-anak mengalami Stunting di Desa Glagah Arum sebanyak 30 orang.