Siaran Pers
Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT)
DIKSI.CO, SAMARINDA - Lima belas tahun sejak bencana lumpur Lapindo, dampak buruknya masih terus berlangsung.
Alih-alih melakukan pemulihan terhadap kesehatan warga dan lingkungan, bencana ini dikemas Pemerintah dengan imaji sebagai spot wisata baru (1).
Resep-resep lama pembangunan berbasis pertumbuhan ekonomi disertai “lepas tangan’ atas risiko bencana ini terus berulang di seantero nusantara lewat berbagai proyek ekonomi skala besar berbasis ekstraksi alam.
Berlanjut lewat disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) tahun lalu, menegaskan pengurus negara, baik pemerintah maupun wakil rakyat menjadi institusi yang memproduksi kekerasan terhadap warga dan lingkungannya (2).
Pengurus negara akan terus memproduksi kekerasan jika terus bergantung kepada pembangunan berbasis pertumbuhan ekonomi. Sejak pertumbuhan ekonomi menjadi kiblat kesejahteraan, bangsa Indonesia menghadapi tiga tantangan terbesarnya: 1) kesenjangan ekonomi yang makin tajam, 2) krisis sosial ekologis yang meningkat seantero nusantara, dan 3) demokrasi yang dibajak oligarki (3).
Kesenjangan digambarkan oleh Badan Pusat Statistik bahwa sepanjang 2011-2015 sebanyak 40 orang terkaya setara dengan kekayaan 60 juta orang termiskin di Indonesia. Sementara dalam 5 bulan terakhir, bencana industrial terus meningkat, termasuk banjir besar di hampir semua kepulauan, termasuk di Kalimantan Selatan, dan banjir karena jebolnya penampung limbah tambang batubara di Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur – pulau yang memasok 90 persen batubara yang dikeruk Indonesia. Sayangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengungkap kerugian negara akibat praktek-praktek korupsi oleh elit politik, kini dibajak oleh penguasa yang didominasi oligarki (4).