“Saya mengetahuinya saat dihadirkan sebagai saksi ahli. Secara teoritis, saya membicarakan bagaimana cara yang normatif dan bagaimana yang seharusnya,” ungkapnya.
Lanjut Orin, sidang praperadilan berbeda dengan persidangan pokok perkara. Sehingga, di dalam persidangan ia menjelaskan, penetapan tersangka itu tidak boleh sewenang-wenang dan harus berdasarkan dua alat bukti. Bukan hanya sekedar dua alat bukti. Namun perolehannya juga diharuskan dengan prosedur yang ada.
“Termasuk bukti visum misalnya. Itu bagaimana cara mendapatkannya. Lalu ada alat bukti video misalnya, itu dilihat dulu apakah video itu memang tidak ada rekayasa atau sifatnya autentik atau tidak. Telah menggambarkan secara utuh atau tidak. Nah itu harus dilihat dahulu, jadi tidak sewenang-wenang begitu,” ucapnya.
Dua alat bukti yang digunakan untuk menjerat seseorang harus minimum dan diperoleh dengan cara sah. Ia mencontohkan kategori sah dan tidak sahnya alat bukti. Contohnya, ialah alat bukti video yang dipaparkan pihak termohon di persidangan.
Sesuai dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), alat bukti video yang disertakan penyidik, harus disertai bukti forensik digital. Sehingga harus pula melewati verifikasi. Apabila alat bukti tersebut tidak dibuktikan uji forensik digital, maka bisa dinyatakan alat bukti tersebut tidaklah orisinil.
Kemudian, soal pasal yang digunakan. Tersangka dikenakan pasal 351. Dan menurut Orin, penerapan pasal ini berbentuk bias. Sebab tak ada rincian penganiayaan seperti apa yang telah dilakukan para mahasiswa ini.
"Makanya saya menyebutkannya, pasal hukum yang digunakan itu kabur. Dan juga kekaburan itu dari unsur pasal dan ayat mana yang dikenakan,” ucapnya.
Mengetahui hasil persidangan, Orin mengatakan tetap pada pendapat seperti yang telah disampaikan di dalam persidangan.