DIKSI.CO - Fajar baru saja menyingsing, waktu itu detik jam berdetak pukul 06.00 Wita.
Abdul Gushai, bersiap untuk aktivitasnya.
Mengenakan baju kerja kaus dan topi caping jadi kostum andalannya. Ya, profesinya adalah seorang petani di Desa Bukit Merdeka, Samboja.
Sekian tahun terakhir, ia bersama sang ayah menggarap lahan yang hanya seluas 835 meter persegi. Tidak terlalu luas memang, Abdul Gushai anggap petak tanah itu cukup.
Tidak sembarang lahan pertanian, Gushai dan si ayah, menerapkan teknologi hidroponik untuk pertaniannya.
Bukan perjuangan mudah memang, karena pertanian yang ia beri nama Green House ini, jadi yang pertama di desa tempatnya bertinggal.
Cerita kelam pernah ia dan para petani lainnya berjuang atas garis hidupnya. Menjadi petani.
"Dulu mayoritas nanam Sahang (Lada)," begitu kira-kira pernyataan Burhanuddin, Camat Samboja.
Dengan bangga, pejabat kecamatan itu berkisah produksi Lada di kawasan pertanian itu menjadi yang terbesar di Kabupaten Kukar.
Hasilnya, bisa puluhan ton perbulan. Hanya saja, dunia berubah saat konsesi tambang muncul belasan tahun lalu.
Desa Bukit Merdeka masuk dalam konsesi perusahaan tambang.
Walhasil, konsesi itu mengganggu kualitas tanah. Kabar buruknya desa yang sebagaian luasannya masuk ke Tahura Bukit Soeharto ini tak lagi bisa mengandalkan tanaman Sahang (Lada).
"Gak bisa lagi ditanami Sahang. Beruntung sekarang petani mulai memanfaatkan teknologi hidroponik," Burhanuddin berkisah. (*)
Omset Puluhan Juta Perbulan