Lubang tambang itu kini ditingalkan begitu saja. Di seluruh samarinda, ada sekitar 349 lubang tambang yang ditinggalkan begitu saja dan membahayakan warga sekitarnya.
Hingga tahun 2020 ada 37 orang meninggal di lubang tambang. Tak satupun pemilik tambang yang dijerat hukum.
Pemerintah dimana saat situasi begitu? "Lah nggeniko mbak, mboten semerep", jawab Komari sambil tertawa. Itu dia mbak, saya tidak tahu, ujarannya dalam bahasa Jawa.
Pada 2012, dia bersama 12 warga Samarinda lainnya mengajukan gugatan Citizen Law Suit ke Pengadilan Negeri Samarinda, memperkarakan pemerintah lokal dan nasional yang ternyata menomersatukan pengusaha batubara, mengabaikan keselamatan keluarganya dan seluruh warga kota. Warga menang gugatan, pun banding di Pengadilan Negeri Samarinda.
Sayangnya gugatan digagalkan Mahkamah Agung dengan alasan sistem peradilan Indonesia tidak mengenal skema Citizen Law Suit. Keputusan yang merugikan warga Samarinda.’
Situasi itu tak menggoyahkan Komari. Ia memenuhi janjinya, hingga kepergiannya dia menolak menjual tanahnya kepada perusahaan tambang. Tanah yang melayani kehidupan keluarganya , menyediakan pangan, air dan biaya membesarkan anak-anaknya, sejak pindah ke Makroman 35 tahun. Tugasnya sebagai warga negara purna sudah, membela tanah airnya sampai akhir. (*)
Penulis : Siti Maimunah
- Peneliti Sajogyo Institute
- Mahasiswa The University of Passau, Fellow Marie Sklodowska-Curie/WEGO