"Tanah itu tak ada pasarnya, Barang lain, seperti kambing, ayam ada pasarnya, sapi bisa dijual dan dibeli lagi. Tapi tanah, jika dijual, belum tentu kita mendapat yang sama", ujar Nurbaeti, diamini suaminya.
Mereka menyaksikan sawah-sawah di Makroman berubah kering, tidak subur, berkali-kali dihantam banjir lumpur batubara.
November 2019, terakhir saya bertemu Komari. Ia terlihat ringkih saat bertutur menggunakan kromo inggil seperti biasa, halus dan pelan saat berbagi gelisahnya tentang sawahnya yang 'mati', sama sekali tak bisa ditanami karena tak ada air.
Sawah dan kebun keluarga Komari dulunya subur, dia tinggal di Makroman, salah satu lumbung padi kota Samarinda.
Prestasi Makroman berubah sejak Pemerintah menetapkannya sebagai wilayah keruk dua tambang batubara.
Banjir lumpur menghantam sawah dan rumah Komari serta tetangga-tetangganya hanya dua tahun setelah tambang beroperasi. Desa itu kemudian langganan banjir.
Penghasilan keluarga Komari dari kebun buah juga menghilang, buahnya habis dimakan hama.
"Rumah mereka di hutan, kalau hutan hilang yang datang ke sawah dan kebun", ujar Komari.
Terakhir, air menghilang dari sumber air dan tepian sawah, membuat mereka bergantung air dari lubang tambang yang beracun. "kita kayak pengemis, minta-minta air dipompa dari lubang tambang", ujar Komari.