Jumat, 20 September 2024

Klaster Ijtima Gowa, Seperti Mencari Jerami di Tumpukan Jarum

Koresponden:
diksi redaksi
Senin, 13 April 2020 12:0

Grafis artikel Klaster Ijtima Gowa, Seperti Mencari Jerami di Tumpukan Jarum/ Diksi.co

Tidak ingin terjadi ledakan pasien konfirmasi Covid-19 di Kaltim. gugus tugas juga bekerjasama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kaltim, dan MUI kabupaten/kota untuk melakukan pendekatan terhadap para peserta Ijtima yang sudah pulang ke Kaltim bisa melapor ke petugas medis.

"Peserta ada yang keras, kami komunikasikan ke kabupaten/kota, untuk melakukan pendekatan ke peserta. MUI juga membantu melakukan pendekatan, bagaimana mereka menyadari ini penyakit menular. Jangan kita merasa sehat tapi tidak melaporkan diri," bebernya. 

Terkait rencana jemput paksa dan pendataan jemput bola di lapangan, juga sudan dilakukan. Dinkes Kaltim yang berkoordinasi dengan dinkes kabupaten/kota telah bekerjasama dengan TNI/Polri guna membantu pendataan.

Nyatanya langkah itu juga kurang maksimal. Untuk itu perlu keterbukaan berbagai pihak, termasuk peserta Ijtima itu sendiri, yang diharap suka rela melaporkan diri, agar penyebaran Covid-19 bisa dikendalikan.

Tak mudahnya melakukan tracing ke peserta Ijtima asal Kaltim, turut ditanggapi oleh Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Rusman Ya'qub.

Politisi PPP ini mengatakan, pemerintah sebaiknya tidak terfokus hanya pada satu kelompok tertentu, namun harus menyeluruh dalam menyikapi persoalan terkait Covid-19 di Kaltim.

Rusman mengaku, Komisi IV DPRD Kaltim tidak ada pembahasan khusus terkait jamaah Ijtima yang kembali ke Kaltim.

"Ya, kalau membahas soal kelompok tertentu kami gak. Karena kalau seperti itu namanya menjadi tendensius. Jadi yang kami lakukan itu adalah meminta kepada seluruh masyarakat dari manapun dia supaya betul-betul mengikuti protokol Covid-19. Jadi tidak terfokus pada kelompok tertentu saja," ujar Rusman saat dihubungi Diksi.co, Kamis (9/4/2020).

Ditanya terkait opsi penjemputan paksa bagi peserta Ijtima, Rusman menegaskan langkah tersebut harus dilakukan jika ditemukan ada masyarakat yang tidak kooperatif untuk melaporkan diri.

"Ya kalau demi keselamatan bersama saya kira tidak ada salahnya kalau memang membandel. Karena kenapa, ini menyangkut keselamatan banyak orang bukan individu saja. Coba kalau dia sendiri menanggung tidak ada masalah. Tapi kan ini bisa mencelakakan orang lain. Jadi upaya paksa itu harus karena UU nya sudah ada," tegasnya.

Selain itu, berdasarkan rekomendasi dewan kepada Pemprov Kaltim mengenai fasilitas karantina khusus pasien Covid-19. Ia mengatakan pemerintah telah menyediakan fasilitas tersebut. Namun tidak untuk pasien yang berstatus ODP.

"Jangan juga terlalu berlebihan, kalau ODP itu bisa saja karantina mandiri. Tapi kalau PDP sudah ada tempat karantina khusus, terlebih kalau gejalanya semakin mendekati Covid-19, maka seyogyanya harus disiapkan tempat karantina oleh pemerintah," tutupnya.

Akademisi dari Universitas Mulawarman turut memberikan tanggapan soal fenomena ini.

Herdiansyah Hamzah, Dosen Hukum Unmul, menyampaikan bila yang terdata baru 653 dari total 1600-an, berarti kinerja pemerintah sangat buruk. Castro---- sapaan akrabnya menyebut dalam situasi ini kecepatan dan keakuratan data sangat dibutuhkan.

“Mestinya dalam situasi seperti ini, kecepatan dan keakuratan data itu sangat dibutuhkan. Ini yang mesti jadi concern pemerintah untuk melacak orang-orang yang terlibat Klaster Ijtima Gowa ini,” kata Castro saat dikonfirmasi melalui via telepon.

Herdiansyah Hamzah, Dosen Hukum Unmul/ Diksi.co

Castro menegaskan, pihak berwenang bisa melakukan tindakan preventif bila ada peserta Ijtima yang enggan melaporkan diri atau bahkan menghindar dari tracing petugas dinas kesehatan. Pihak aparat seharusnya mendatangi orang bersangkutan. 

“Kalau datanya sudah clear, lalu lantas ada yang menolak melalukan tes, maka pemerintah bisa menggelar tes secara paksa dengan dasar demi menjaga kepentingan umum,” ucapnya.

Meski begitu, masyarakat diharap tidak stigma buruk kepada peserta Ijtima ulama karena dalam situasi ini perlu semuanya saling menyokong. Selain itu, dari peserta Ijtima juga jangan mengedepankan rasa malu karena ini wabah yang mesti dilawan bersama.

“Satu sisi, dibutuhkan juga kesadaran diri sendiri dari mereka-mereka yang terkait dengan cluster itjima ini. Jangan mengedepankan rasa malu, tapi berpikirlah untuk melindungi saudara-saudara kita yang lain. Ini kan bukan penyakit, tapi wabah yang mesti kita lawan bersama. Publik juga seharusnya tidak memberi stigma yang berlebihan. Dalam situasi seperti ini, kita butuh saling menyokong karena ini bukan aib,” pungkasnya. (*)

Corona Bukan Aib

Banyak alasan yang mungkin mengakibatkan peserta Ijtima asal Kaltim, enggan melaporkan diri ke dinas kesehatan.

Salah satunya menghindari stigma buruk oleh masyarakat. Membuah Covid-19 dianggap aib yang harus disembunyikan.

"Jangan sampai ada stigma yang dimunculkan masyarakat ke mereka. Karena hal itu berpengaruh pada keterbukaan  mereka kepada petugas. Jangan sampai mereka tertekan karena dianggap membawa virus. Olehh karena itu mereka jadi bersembunyi," papar Andi.

Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kaltim ini, menyampaikan selama ini peserta yang terdata adalah mereka yang memiliki gejala medis, lalu ia mau melapor ke fasilitas kesehatan. Mereka baru mau melapor setelah ada kondisi tersebut. Dari laporan itu, lalu Dinkes kabupaten/kota mentracing siapa saja yang ikut berangkat dengan orang yang melaporkan tersebut.

"Yang terdata adalah mereka yang memiliki gejala medis, untuk itu mereka melapor. Setelah itu kami lakukan pengembangan," ungkapnya.

"Dari yang PDP maupun positif kami tracing. rules nya memang seperti itu, juga melakukan upaya ke semua pihak," sambungnya.

Andi berharap masyarakat ikut serta  membuat nyaman dalam kondisi ini. Salah satunya dengan tidak mengucilkan para ODP maupun peserta Ijtima ini.

"Lebih memotivasi mereka, jangan dikucilkan di masyarakat," pungkasnya.

Hal senada juga disampaikan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kaltim, dr Nataniel Tandirogang. Dengan tegas Nataniel menyebut Covid-19 bukanlah penyakit aib.

"Covid-19 itu penyakit infeksi yang bisa  sembuh sendiri. Cuman masalahnya penularan penyakit ini sangat tinggi. Kalau disembunyikan ini sangat berbahaya, bukan hanya untuk dirinya, anak istrinya, juga untuk keluarganya, serta orang di sekitarnya," tegasnya.

Bila ada ODP atau pendatang dari luar darah di suatu permukiman, itu adalah hal wajar. Nataniel mengungkap kondisi itu menjadi bukti kesadaran masyarakat terkait penyakit ini sudah baik. Menghindari ODP dan mereka yang baru pulang dari luar daerah, terlebih daerah terjangkit, adalah cara yang paling efektif untuk memutus rantai penularan Covid-19 di masyarakat.

"Bila ada ODP Covid-19 harus dihindari, itu satu langkah yang efektif untuk memutus penyebaran Covid-19. Tapi kan bukan berarti sebagai aib. Itu kan untuk menghindari corona, nanti bila wabah sudah berlalu, harusnya semua akan normal kembali," tutupnya. (tim redaksi Diksi) 

BACA JUGA: BREAKING NEWS - RSUD AWS Bikin Surat Terbuka Terkait Pelayanan PDP Itjima Gowa, Polisi Tunggu Laporan Resminya

BACA JUGA: BREAKING NEWS – Update Covid-19 di Kaltim Sabtu (11/4/2020), Tak Ada Penambahan Pasien Positif

BACA JUGA: Aliansi Mahasiswa Mulawarman Bersurat ke Gubernur Kaltim Terkait Covid-19: Ayahanda Katakan Corona Berakhir Bulan Maret?

BACA JUGA: PDP Covid-19 di Samarinda Menolak Dikarantina dan Sempat Pecahkan Kaca, Plt Kadinkes Dinkes Kaltim: Benar Adanya

BACA JUGA: PSI Kaltim Bagi Makanan ke Wartawan dan Ojol

Halaman 
Tag berita:
Berita terkait
breakingnews