Poin kesimpulan yang disampaikan berikutnya adalah, terkait pernyataan termohon yang mengatakan, bahwa FR ditetapkan tersangka pasca tertangkap tangan membawa senjata tajam.
Hal itu disampaikan tim Advokasi Polresta Samarinda, di dalam persidangan beragendakan jawaban termohon atas pertanyaan pemohon. Hanya saja, lanjut Bernard, menurut Perkap kepolisian nomor 6 tahun 2019 terkait tertangkap tangan, dijelaskan, seharusnya Polresta Samarinda tidak perlu melakukan mekanisme gelar perkara.
"Sementara dalam Perkap kepolisian nomor 6 tahun 2019. Kalau kasusnya tangkap tangan, itu tidak perlu adanya mekanisme gelar perkara. Ini kan aneh, FR ini sebenarnya apakah tertangkap tangan atau apa. Kenapa seolah-olah kasusnya seperti perkara biasa. Ini kan menjadi keganjilan," jelasnya.
Bernard mengatakan, apabila kasus FR adalah perkara biasa, ada sebuah putusan dari mahkamah konstitusi nomor 21/TPU/12/2014 yang telah memberikan syarat tambahan. Yakni, selain melengkapi dua alat bukti, pihak kepolisian seharusnya melakukan pemeriksaan dahulu kepada calon tersangka. Namun bukan langsung ditetapkan sebagai tersangka.
"Dilihat dari daftar alat bukti, itu tidak ada FR terlebih dahulu diperiksa sebagai calon tersangka. Tapi dia langsung diperiksa sebagai tersangka. Seharusnya kan ada dua alat bukti dan pemeriksaan terhadap calon tersangka," kuncinya.
Bernard menyampaikan, ada kejanggalan atas tertangkap tangannya FR oleh kepolisian. Pasalnya saat kejadian, sajam yang diduga milik Firman berada sejauh 8 meter ketika tersangka diamankan.
“Sehingga susah kalau mau diklaim FR ini tertangkap tangan. Karena barang buktinya itu ada sejauh 8 meter, saat FR diamankan. Sehingga itu di luar penguasaan si FR,” bebernya.
Bernard mengaku optimis, bahwa kliennya dapat memenangkan praperadilan dalam agenda putusan yang berlangsung pada hari ini.
"Kami optimis, dengan kesimpulan yang kami sampaikan, Hakim Tunggal akan mengabulkan permohonan kami," pungkasnya. (tim redaksi Diksi)