Sabtu, 23 November 2024

Kesimpulan Praperadilan Dua Mahasiswa Tersangka Aksi Omnibus Law Dibacakan Besok, Kuasa Hukum Tersangka Optimis Menang

Koresponden:
Muhammad Zulkifly
Rabu, 16 Desember 2020 10:58

FOTO : Sidang dua mahasiswa tersangka aksi tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja memasuki babak akhir/Diksi.co

DIKSI.CO, SAMARINDA - Sidang praperadilan dua mahasiswa dengan dugaan penganiayaan serta kepemilikan senjata tajam kembali bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda, Rabu (16/12/2020) siang tadi. 

Saat ini, sidang telah memasuki tahap akhir. Yakni penyampaian kesimpulan pihak termohon maupun pemohon soal fakta sidang sepekan terakhir. 

Persidangan kali ini berlangsung cukup singkat. Sebab dari masing-masing pihak, hanya diminta menyerahkan berkas kesimpulan kepada Hakim Tunggal, tanpa perlu membacakan didalam persidangan. 

Untuk perkara tersangka WJ, termohon maupun pemohon memberikan berkas kesimpulannya kepada Hakim Tunggal Yoes Hartyarso. Sedangkan perkara atas tersangka FR, kedua belah pihak mengumpulkan berkas kesimpulannya kepada Hakim Tunggal Agung Sulistiyono.

Masing-masing berkas kesimpulan itu, nantinya akan menjadi pertimbangan Hakim Tunggal, untuk memberikan putusan pada agenda sidang yang dijadwalkan Kamis (17/12/2020) besok. 

Apabila praperadilan dimenangkan oleh pihak termohon yakni Polresta Samarinda, maka tersangka kemudian akan dinaikan statusnya sebagai terdakwa di dalam sidang pokok perkara.

Namun, apabila praperadilan dimenangkan oleh pemohon dari dua tersangka. Maka kedua mahasiswa tersebut dipastikan terlepas dari jeratan hukum, serta dilepaskan dari penahanannya. 

Seperti diberitakan sebelumnya, kedua mahasiswa ini ditangkap, ditahan, dan ditetapkan sebagai tersangka, pasca aksi unjuk rasa penolakan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang berujung bentrok di depan Kantor DPRD Kaltim, 5 November silam. 

WJ, mahasiswa Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda ditangkap petugas karena diduga telah melakukan tindak penganiayaan berupa pelemparan batu. Mengakibatkan satu personel polisi mengalami luka di bagian kepala. 

Sedangkan FR, mahasiswa Politeknik Negeri Samarinda (Polnes), ditangkap petugas karena diduga membawa senjata tajam (sajam) berupa badik. Singkatnya, ketika proses hukum sedang berjalan, kedua mahasiswa ini ditetapkan sebagai tersangka oleh Polresta Samarinda. 

Namun perihal penangkapan, penahanan, hingga penetapan tersangka, dituding mengalami cacat formil. Polisi dianggap hanya mengkambing hitamkan kedua mahasiswa tersebut. Atas dasar itulah, dua tersangka melalui kuasa hukumnya, menempuh jalur praperadilan. 

Dikonfirmasi usai persidangan, Indra Kuasa Hukum Tersangka WJ menyampaikan apa saja inti dari isi berkas kesimpulan yang diserahkan ke Hakim Tunggal Yoes Hartyarso.

"Intinya kami menanggapi alat bukti yang telah disampaikan oleh pihak termohon kepolisian. Termasuk memberikan kesimpulan atas fakta persidangan, yang kami nilai dari alat bukti yang telah dikemukakan pihak termohon," ungkapnya.

Disebutkannya, bahwa dari sejumlah alat bukti yang telah dibeberkan Termohon Polresta Samarinda di dalam persidangan, tidaklah sempurna. Sehingga, penetapan tersangka yang dilakukan kepolisian terhadap WJ, belum memenuhi bukti permulaan yang cukup. Atau terpenuhinya alat bukti yang sesuai didalam Pasal 184 KUHAP.

Selain itu Indra menyampaikan, dari seluruh alat bukti yang dibeberkan pihak kepolisian di dalam persidangan, ada sejumlah alat bukti yang baru dikumpulkan pihak kepolisian setelah WJ ditetapkan sebagai tersangka. Dengan demikian, alat bukti tersebut dinyatakan tidak sempurna. 

"Polisi menetapkan tersangka itu ditinggal 6 November. Sedangkan alat bukti dasar penetapan tersangka, berupa hasil visum korban, itu keluarnya di tanggal 12 November. Nah itu kami nilai kualitas alat buktinya tidak cukup kuat, untuk menetapkan tersangka," terangnya.

Terpisah, Tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Bernard Marbun selaku kuasa hukum tersangka FR mengatakan, pada persidangan ini, dia tak jadi menghadirkan saksi ahli. Dan langsung melanjutkan ke persidangan beragendakan kesimpulan.

Sedikitnya, ada tiga poin penting yang ia sampaikan ke Hakim Tunggal didalam berkas kesimpulannya. Untuk point pertama, pemohon menyampaikan, bahwa FR tidak bisa dikategorikan tertangkap tangan. Sebagaimana yang telah dituduhkan pihak termohon Polresta Samarinda. 

"Alasannya, karena kategori kasus FR ini tidak masuk didalam pasal 1 butir 16 KUHAP. FR saat itu sedang tidak melakukan tindak pidana, ataupun dipergoki oleh orang lain. Dan senjata tajam itu tidak dalam kuasa FR," ungkapnya.

Dijelaskannya, saat FR diamankan aparat kepolisian, yang bersangkutan ditemukan sedang tidak melakukan tindak pidana apapun. Contohnya, seperti memegang ataupun mengacungkan senjata tajam pada saat bentrokan terjadi.

"Selain itu, tidak ada juga yang melihat secara pasti, bahwa senjata tajam itu benar-benar miliknya. Karena senjata tajam itu ditemukan sejauh 8 meter, saat FR diamankan kepolisian," terangnya.

Lanjut Bernard, point berikutnya yang disampaikan dalam berkas kesimpulan adalah, terkait dua alat bukti berupa laporan polisi dari keterangan dua saksi. Disebutkan, bahwa dari dua alat bukti yang dibeberkan Termohon didalam persidangan, pelapor hingga saksi di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) seluruhnya diisi oleh anggota polisi.

"Nah ini aneh. Padahal di tanggal 5 November itu, dititik kejadian sedang banyak orang di sana. Kenapa tidak mengambil saksi dari masyarakat umum," ucapnya.

"Ini kan janggal. Itu bisa kita lihat, bahwa mengenai ini ada di Pasal 185 ayat 6 KUHAP, yang menyatakan bahwa, saksi itu harus bebas, netral, objektif dan jujur. Dengan dua saksi dari unsur kepolisian, ini kan bisa saja ada kepentingan. Sehingga dinilai tidak objektif dan juga tidak netral. Kenapa harus polisi doang yang jadi saksi. Dan polisi juga yang melakukan pelaporan," sambungnya.

Poin kesimpulan yang disampaikan berikutnya adalah, terkait pernyataan termohon yang mengatakan, bahwa FR ditetapkan tersangka pasca tertangkap tangan membawa senjata tajam.

Hal itu disampaikan tim Advokasi Polresta Samarinda, di dalam persidangan beragendakan jawaban termohon atas pertanyaan pemohon. Hanya saja, lanjut Bernard, menurut Perkap kepolisian nomor 6 tahun 2019 terkait tertangkap tangan, dijelaskan, seharusnya Polresta Samarinda tidak perlu melakukan mekanisme gelar perkara. 

"Sementara dalam Perkap kepolisian nomor 6 tahun 2019. Kalau kasusnya tangkap tangan, itu tidak perlu adanya mekanisme gelar perkara. Ini kan aneh, FR ini sebenarnya apakah tertangkap tangan atau apa. Kenapa seolah-olah kasusnya seperti perkara biasa. Ini kan menjadi keganjilan," jelasnya. 

Bernard mengatakan, apabila kasus FR adalah perkara biasa, ada sebuah putusan dari mahkamah konstitusi nomor 21/TPU/12/2014 yang telah memberikan syarat tambahan. Yakni, selain melengkapi dua alat bukti, pihak kepolisian seharusnya melakukan pemeriksaan dahulu kepada calon tersangka. Namun bukan langsung ditetapkan sebagai tersangka.

"Dilihat dari daftar alat bukti, itu tidak ada FR terlebih dahulu diperiksa sebagai calon tersangka. Tapi dia langsung diperiksa sebagai tersangka. Seharusnya kan ada dua alat bukti dan pemeriksaan terhadap calon tersangka," kuncinya.

Bernard menyampaikan, ada kejanggalan atas tertangkap tangannya FR oleh kepolisian. Pasalnya saat kejadian, sajam yang diduga milik Firman berada sejauh 8 meter ketika tersangka diamankan. 

“Sehingga susah kalau mau diklaim FR ini tertangkap tangan. Karena barang buktinya itu ada sejauh 8 meter, saat FR diamankan. Sehingga itu di luar penguasaan si FR,” bebernya.

Bernard mengaku optimis, bahwa kliennya dapat memenangkan praperadilan dalam agenda putusan yang berlangsung pada hari ini. 

"Kami optimis, dengan kesimpulan yang kami sampaikan, Hakim Tunggal akan mengabulkan permohonan kami," pungkasnya. (tim redaksi Diksi) 

 

Tag berita:
Berita terkait
breakingnews