Alasan kedua, adalah mendorong pariwisata yang lebih berkualitas yang salah satu indikatornya adalah besarnya pengeluaran turis saat menetap di salah satu destinasi wisata.
Turis berkantong tebal yang disebut pemerintah sebagai wisawatan kelas A dan B, kata Odo, kini makin sedikit dan hal tersebut kurang menguntungkan bagi pelaku usaha pariwisata.
Ia mencontohkan, misalnya, jumlah turis di Bali terus meningkat tapi jumlah rata-rata uang yang mereka habiskan selama berlibur justru berkurang.
"Kami mendorong quality tourism, salah satu riset menyatakan dari 2008 sampai 2019 wisatawan di Bali itu meningkat, stay meningkat.
Tapi spend per day menurun 8 persen pengeluaranya," sambung Odo.
Karenanya, jika turis yang berlibur ke Indonesia adalah kelas A dan B, ia yakin roda perekonomian di daerah tempat wisata akan berputar lebih kencang.
"Justru yang kita inginkan kan dia tinggal 3-4 hari di sana, tapi spend-nya besar. Arahnya adalah quality tourism dan berkontribusi ke sustainable development," terang Odo.