DIKSI.CO, SAMARINDA - Program kartu prakerja dihujani kritik oleh berbagai kalangan. Bahkan dianggap sebagai program yang rentan atau rawan korupsi. Tak jarang pula yang menyebut jika program ini semacam parasit yang menjadi penumpang gelap (free rider) di tengah pandemi Covid-19. Anggapan ini bukan tanpa alasan.
Sebab beragam kontroversi menyertai kelahiran program andalan Presiden Jokowi ini. Mulai dari isu konflik kepentingan (conflict of interest), kisruh staf khusus mileneal Presiden, hinnga penunjukan perusahaan e-commerce sebagai mitra kerja tanpa melalui proses tender.
E-commerce, adalah bentuk platform yang dipilih oleh Pemerintah sebagai mitra, untuk menjalankan program kartu prakerja ini. Polemik mitra ini mulai mengemuka dan mendapatkan sorotan publik, saat ruangguru diketahui sebagai salah satu dari delapan perusahaan rintisan (start-up) yang ditetapkan sebagai mitra pelatihan kartu prakerja.
Ruangguru adalah perusahaan teknologi berbasis pendidikan, yang didirikan oleh staf khusus milineal Presiden Jokowi, Adamas Belva Syah Devara . Diduga terjadi konflik kepentingan antara keterpilihan ruangguru sebagai salah satu mitra kartu prakerja, dengan posisi Belva sebagai staf khusus Presiden. Posisi staf khusus Presiden, tentu sangat memungkinkan untuk memperdagangkan pengaruhnya (trading in influence) demi mendapatkan keuntungan tertentu.
Selain soal keterpilihan ruangguru sebagai mitra kartu prakerja yang dinilai sarat konflik kepentingan, polemik lain yang mendapat sorotan publik adalah soal penunjukan 8 perusahaan e-commerce sebagai mitra kartu prakerja, tanpa melalui proses tender . Kebijakan ini dinilai sangat kontroversial, mengingat tidak dilakukan melalui prosedur atau mekanisme sebagaimana yang diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Penunjukan tanpa tender ini, diakui sendiri oleh Pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani . Alasan utamanya, karena 8 mitra ini yang dianggap sudah siap, untuk itu Pemerintah tidak melakukan tender dengan platform tersebut.
Ketiadaan tender itu dikarenakan tidak adanya penyelenggaraan barang atau jasa yang dibayarkan pada perusahaan digital yang menjadi mitra. Pembeliannya adalah kepada content provider . Alasan ini tentu tidak bisa kita terima begitu saja, sebab otoritas operasional jasa pelatihan daring yang disiapkan dalam kartu prakerja ini, tetap berada di tangan 8 perusahaan e-commerce tersebut. Lantas bagaimana mungkin Pemerintah menyebut mereka tidak menyelenggarakan usaha yang menyediakan jasa? Disamping itu, penunjukan hanya dengan alasan “kesiapan”, cenderung sangat subjektif dan sarat dengan kepentingan. Jadi rasanya sulit untuk tidak mengatakan, jika penunjukan tanpa tender ini, adalah kebijakan yang beraroma korupsi.