Mengenai zending Kristen, Kartini menghargai upaya misionaris menyebarkan kasih dan kepeduliannya kepada rakyat Jawa. Namun dia mengharapkan agar kebaikan itu dilakukan atas nama kemanusiaan, bukan karena tujuan mengganti agama yang sudah dianut orang. Kartini menganjurkan agar agama menjadi jalan untuk mengenal Tuhan yang maha penyayang, pengasih dan hendaknya Tuhan diperkenalkan sebagai “Bapak semua makhluk, orang Kristen maupun dia orang Islam, Budha, Yahudi dan sebagainya,” ujarnya kepada Abendanon.
Dari surat tersebut kita bisa memahami betapa luasnya pengertian Kartini terhadap agama. Menurut Kartini agama hendaknya membawa berkah, “supaya memperkaribkan semua makhluk Allah, yang berkulit putih maupun yang berkulit hitam, tidak pandang pangkat perempuan ataupun laki-laki agama mana yang dipeluknya.”
Upaya menggerus peran Kartini sudah dimulai sejak 1979 saat Harsja Bachtiar, seorang sosiolog, yang mendelegitimasi ketokohan Kartini dalam artikelnya, “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Dia menggugat kultus Kartini sebagai pelopor emansipasi perempuan di Indonesia, karena curiga ada muatan kepentingan Belanda di dalamnya. Kartini terkesan “dipromosikan” oleh orang Belanda sebagai sosok perempuan berpikiran maju yang beritikad mendobrak tradisi kolot yang mengungkung masyarakatnya.
Cara pandang Harsja memunculkan pengertian kalau Kartini adalah produk kolonial, narasi liyan yang kurang cocok diaku sebagai narasi sejarah produk Indonesia. Sehingga ada kesan membela Kartini artinya berada di posisi yang sama dengan kaum kolonial Belanda.
Harsja menawarkan tokoh perempuan lain yang menurutnya jauh lebih jelas peran dan perjuangannya ketimbang Kartini yang hanya menulis surat. Mereka adalah Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin dari kesultanan Aceh dan Siti Aisyah Wa Tenriolle dari Sulawesi Selatan.
Harsja mungkin mengabaikan jasa terbesar Kartini, yang bukan terletak pada kepalan tangan menggenggam senjata atau duduk di tampuk kekuasaan. Api semangat pada setiap lembar suratnya jadi sumber inspirasi perjuangan banyak perempuan generasi berikutnya. Surat-surat Kartini, sebagai buah pikiran dan cerminan situasi batin kaum perempuan sezamannya, sumber otentik yang tak bisa tergantikan oleh legenda atau dongeng keperkasaan perempuan di masa lalu.