Keempat, pembahasan memanfaatkan masa lame duck (bebek lumpuh) atau masa transisi menuju pemerintahan periode baru untuk segera mengesahkan Perubahan Keempat UU MK.
Kelima, pembahasan dilakukan di masa reses, bukan di masa sidang. Seharusnya, DPR fokus untuk menyerap aspirasi konstituen pada masa tersebut, bukan kebut-kebutan membahas undang-undang yang krusial bagi masa depan kekuasaan kehakiman.
Menilik materi muatan, Perubahan Keempat UU MK sejatinya tak berorientasi pada penguatan MK, melainkan untuk membajak independensi MK beserta Majelis Kehormatan MK. Pertama, dalam satu dekade terakhir, perubahan terhadap UU MK, baik di UU Nomor 8 Tahun 2011, UU Nomor 4 Tahun 2014 yang dibatalkan seluruhnya, UU Nomor 7 Tahun 2020, dan Rancangan Perubahan Keempat UU MK ini lebih banyak mengotak-atik masa jabatan hakim konstitusi. Perubahan terhadap UU MK belum menyentuh pokok-pokok yang krusial bagi penguatan kewenangan dan kelembagaan MK, seperti: (1) perumusan standardisasi yang setara pada tiga lembaga pengusul; (2) penguatan kewenangan MK melalui constitutional complaint dan constitutional question; (3) pembaruan hukum acara MK; (4) pengetatan penegakkan etik hakim konstitusi; (5) jaminan keamanan masa jabatan bagi hakim konstitusi.
Kedua, kami melihat terdapat indikasi untuk mengotak-atik konfigurasi hakim konstitusi agar terisi jajaran yang lebih sesuai dengan kehendak DPR dan Presiden.
Pasal 23A ayat (2), (3), dan (4) Perubahan Keempat UU MK menjadi dasar recall (penarikan kembali) hakim konstitusi dengan mekanisme evaluasi per lima tahun oleh lembaga pengusul. Pengaturan ini seolah hendak mengancam independensi dan imparsialitas kewenangan konstitusional MK, sebab hakim konstitusi akan dependen
pada kehendak lembaga pengusul.
DPR dan Presiden perlu memahami bahwa MK merupakan lembaga negara yang memainkan peran checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif serta berkedudukan sejajar dengan Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung, bukan bersifat subordinat terhadap lembaga pengusul, sehingga praktik recall tidak dapat dibenarkan. Di negara demokrasi konstitusional modern pun, tidak pernah ada praktik demikian dan tidak pernah diwajarkan.
Ketiga, kami menemukan bahwa upaya intervensi terhadap MK tak hanya pada masa jabatan dan penyelenggaraan kewenangan saja, melainkan juga pada lembaga penegak etiknya. Pasal 27A Perubahan Keempat UU MK menambahkan tiga personil Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang diusulkan oleh tiga lembaga pengusul.
Konfigurasi demikian potensial mempersempit ruang bagi MKMK untuk lebih independen mengawasi kinerja sembilan hakim konstitusi, sehingga semakin mudah diintervensi oleh lembaga pengusul di masa depan.
Keempat, Pasal 87 Perubahan Keempat UU MK menjadi aturan peralihan yang mengindikasikan adanya upaya untuk menyaring hakim konstitusi incumbent, yaitu dengan mengatur perlunya persetujuan lembaga pengusul bagi: (a) hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari lima tahun dan kurang dari sepuluh tahun untuk melanjutkan masa jabatannya; dan (b) hakim konstitusi yang telah menjabat melebihi sepuluh tahun untuk melanjutkan masa jabatan hingga usia 70 (tujuh puluh) tahun.