Rabu, 15 Mei 2024

Tim Kuasa Hukum Terdakwa Aksi Demo Omnibus Law Beber Sejumlah Ketidakadilan, Ini Rinciannya

Koresponden:
Muhammad Zulkifly
Jumat, 29 Januari 2021 11:19

FOTO : Bernard Marbun Kuasa Hukum Firman (kanan) saat menggelar konfrensi pers pada Kamis sore kemarin/Diksi.co

DIKSI.CO, SAMARINDA - Kuasa Hukum Firman membeberkan sejumlah fakta-fakta di dalam persidangan perdana, terhadap terdakwa perkara pembawa senjata tajam (sajam) dalam aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law, yang berlangsung via daring di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda, pada Rabu (27/1/2021) lalu. 

Mereka menuding, bahwa dalam proses peradilan yang tengah dijalani Firman, mendapatkan sejumlah ketidakadilan dari institusi penegak hukum. Dalam hal ini adalah aparat Kepolisian, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hingga Majelis Hakim di PN Samarinda

Hal itu pula yang menjadikan alasan bagi terdakwa, melalui kuasa hukumnya untuk memilih Eksepsi dalam persidangan agenda bacaan dakwaan. Bernard Marbun selaku Kuasa Hukum Firman menyampaikan, hal apa saja terkait ketidakadilan yang dialami kliennya tersebut melalui konferensi pers yang digelarnya pada Kamis (28/1/2021) lalu.

Bernard sebagai kuasa hukum mengaku selama ini tidak pernah bertemu dengan kliennya Firman. Menurutnya, ini sebuah pelanggaran yang harus diperhatikan. Sebab, kuasa hukum memiliki hak untuk berkomunikasi secara leluasa dengan kliennya. 

Namun aparat penegak hukum negara tak memberikan hak tersebut. Disebutkan Bernard, sidang yang diikuti Firman secara daring pun tidak berjalan maksimal dan berindikasi akan merugikan kliennya.

Disebutkanya, dalam persidangan perdana yang dipimpin oleh Edy Toto Purba selaku Ketua Majelis Hakim dengan didampingi Agus Raharjo dan Hasrawati Yunus sebagai Hakim Anggota, JPU Melati dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Samarinda membacakan surat dakwaan dan menjerat Firman dengan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang (UU) Darurat Nomor 22/1991.

Dikatakan Bernard, didalam persidangan yang berlangsung via daring saat itu, terdakwa Firman mengaku tak dapat mendengarkan secara jelas suara dari JPU yang tengah membacakan dakwaan. Kendati dengan kondisi demikian, namun Ketua Majelis Hakim tetap bersikeras untuk melanjutkan persidangan. Sehingga berkesan dipaksakan.

"Akan tetapi ketua majelis hakim dalam hal ini Pak Edy Toto Purba, tetap bersikeras untuk menjalankan persidangan secara online. Sidang ini tetap dijalankan dengan alasan sudah menjadi bagian dari protokol kesehatan Covid-19," ungkapnya kepada awak media. 

"Akhirnya, terkesan dipaksakan lah sidang untuk berjalan. Begitu masuk dalam sesi pembacaan dakwaan, suara daripada JPU saat tidak terdengar jelas. Karena perangkat yang disediakan oleh PN Samarinda itu tidak maksimal untuk memfasilitasi," sambungnya.

Sehingga pada saat JPU usai membacakan dakwaannya, Firman yang kala itu ditanya dan dimintai tanggapannya oleh Majelis Hakim, mengaku tidak memahami atas apa yang sudah didakwakan. 

"Proses persidangan secara daring seperti ini, tidak bisa berjalan secara maksimal. Ini terbukti dari klien kami yang ditanya oleh majelis hakim, ternyata dia bengong. Dia tidak mengerti dan memahami apa yang disebutkan dalam dakwaan oleh JPU," ucapnya.

Lanjut Bernard, atas dasar itulah dirinya sempat meminta kepada Majelis Hakim agar di persidangan selanjutnya, terdakwa dapat dihadirkan didalam persidangan secara langsung. Namun permintaan itu ditolak, dengan alasan situasi Pandemi COVID-19 saat ini.

Di sisi lain persidangan seperti ini dianggapnya tidak akan berjalan maksimal. Dikarenakan teknologi yang tidak memadai, dirasa tidak akan mampu menerjemahkan kebenaran didalam persidangan.

"Makanya kami menolak sidang dilakukan secara daring. Karena itu akan sangat merugikan klien kami," katanya.

Sedangkan kliennya yang telah ditetapkan sebagai terdakwa, memiliki hak untuk mengetahui apa saja pasal-pasal yang telah didakwakan. "Apabila pengadilan negeri dalam hal ini tetap menjalankan persidangan secara online. Maka ini adalah sebuah Pelanggaran terhadap hak dari terdakwa itu sendiri," jelasnya.

"Bahwa terdakwa memiliki hak untuk mendapatkan keadilan secara adil dan maksimal. Jika tetap masih saja dilaksanakan proses peradilan, maka ini adalah ini peradillan yang tidak adil," lanjutnya.

Sebagai kuasa hukum Bernard juga merasa keberatan kepada JPU. Karena hingga sidang dimulai, dirinya tak diberikan salinan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) turunan dari JPU kepada pihak terdakwa. Sementara lazimnya salinan BAP tersebut, semestinya diserahkan sebelum persidangan berlangsung.

"Dasar hukumnya adalah pasal 143 ayat 4 KUHP, disitu dijelaskan bahwa sebelum persidangan turun BAP lengkap itu harus diberikan kepada terdakwa lewat kuasa hukumnya," jelasnya.

Dijelaskannya bahwa salinan BAP sangatlah krusial dan sangat diperlukan untuk menyampaikan eksepsi dakwaan pada sidang berikutnya. "Namun sampai dengan proses persidangan turunan BAP tersebut tidak diserahkan kepada kami," ucapnya.

Pihaknya pun telah meminta salinan BAP tersebut didalam persidangan. Kala itu majelis hakim menyarankan agar kuasa hukum terdakwa untuk berkomunikasi kepada JPU.

Halaman 
Tag berita:
Berita terkait
breakingnews