Di sisi lain, jika saya melihat pidato politik Prabowo pasca-dilantik, saya mendukung wacana kedaulatan pangan yang dijanjikannya lima tahun ke depan. Lagi-lagi kita kembali pada pembangunan berbasis kearifan lokal, namun beberapa kasus justru implementasi ketahanan ataupun kedaulatan pangan ini menuai kontroversi sebagaimana digagas saat pemerintahan Jokowi.
Konsep otonomi daerah dan atau khusus, justru keluar dari konsep keseimbangan, malah dibegal oleh kekuasaan lokal. Lihat saja sampai sekarang kita masih dipertontonkan penangkapan kepala-kepala daerah terjerat korupsi dan menjamurnya dinasti politik.
Namun sebenarnya yang tak kalah penting, seharusnya Prabowo sedikit fokus pada hal-hal tentang peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai bagian dari langkah menuju Indonesia Emas 2045 menjawab bonus demografi.
Jika tujuan itu (Indonesia Emas 2045) tidak ditopang dengan kualitas sumber daya manusia, maka yang terjadi adalah Indonesia Cemas 2045.
Penegasannya adalah, Prabowo harus merevolusi gagasan sistem pendidikan nasional kita, paling tidak membersihkan residu-residu peninggalan Menteri Pendidikan sebelumnya yang terlalu liberal, mengarahkan pada “student loan” dimana kalangan mahasiswa dipandang sebagai market pinjol oleh perusahaan-perusahaan sttar-up.
Hal ini bisa dilihat dari hiruk pikuknya kenaikan UKT di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN).
Tampak jelas sekali skema komersialisasi pendidikan kita.
Kritik awal yang kedua tak lain adalah kedaulatan siber kita.
Sudah banyak pandangan yang mengatakan sudah sepatutnya kita fokus pada pertahanan siber. Dalam konteks revolusi 5.0 negara-negara yang menguasai algoritma dialah penguasa, di luar fokus Prabowo dalam meningkatkan alutsista.
Saya berkeyakinan masih banyak kalangan pemuda kritis di tengah pemaksaan “menerima keadaan” yang menggiring pada karakter oportunis.
Jangan biarkan rakyat “bertarung sendirian” menghadapi tekanan zaman.
#Selamat, 96 tahun Sumpah Pemuda# . (*)