Pekerja kampus, khususnya dosen, menemukan momentumnya untuk berkumpul, berkeluh kesah bersama, sekaligus menyadari jika posisi tawar pekerja kampus selama ini, terlampau lemah di hadapan pemegang kebijakan pendidikan, mulai dari birokrasi kampus, kementerian terkait, hingga pemegang kendali kekuasaan pemerintahan.
“Kami menyadari kalau marah saja tidak cukup, mengumpat dan memaki tidak mempan, dan geram tidak akan mengubah keadaan. Oleh karena itu, posisi tawar pekerja kampus harus dinaikkan, kekuatan mesti dilipatgandakan, dan perlawanan harus diorganisir. Posisi tawar yang kuat serta kekuatannya berlipat ganda itu hanya bisa kita peroleh melalui serikat pekerja,” kata Herdiansyah.
Kami Semua Sama, Buruh!
Pada Hari Buruh Internasional (May Day) yang jatuh tepat pada tanggal 1 Mei 2023, para dosen mendeklarasikan dan mengakui dirinya sebagai buruh, dan menyatakan diri bergabung ke dalam barisan aksi hari buruh internasional.
Pada awalnya, Serikat Pekerja Kampus (SPK) didesain untuk kepentingan perjuangan para dosen. Namun para inisiator menyadari bahwa pekerja kampus bukan hanya dosen.
Dosen hanya salah satu entitas pekerja kampus. Selain dosen, ada tenaga kependidikan (tendik), keamanan dan tenaga kebersihan, hingga asisten dosen dan pekerja magang.
Atas dasar inilah, para inisiator memutuskan serikat yang hendak dibangun ini adalah Serikat Pekerja Kampus, yakni serikat yang menampung kehendak berorganisasi dari semua kalangan pekerja kampus, apapun jenis dan status pekerjaanya.
Inisiator SPK berpandangan bahwa semua pekerja sama, semua adalah buruh, dan buruh tidak dibatasi oleh jenis kelamin, jenis pekerjaan, asal usul, domisili. Sesama buruh harus saling bersolidaritas, bahu membahu memperjuangkan nasib dan kepentingan secara kolektif.
Tim Riset Kesejahteraan Dosen telah menemukan bahwa sebanyak 42,9% dosen menerima upah di bawah Rp 3 juta per bulan.