DIKSI.CO, SAMARINDA - Mencermati surat Imbauan Direktur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Nomor: 1035/E/KM/2020, 9 Oktober 2020, kami Aliansi Akademisi Menolak Omnibus Law menilai:
1. Imbauan kepada civitas akademika untuk tidak ikut serta dalam aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja adalah bentuk pembatasan terhadap kebebasan berpendapat dan kebebasan akademik yang dijamin oleh konstitusi serta bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik (2017), khususnya Prinsip 4. Insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan; dan Prinsip 5. Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik.
2. Secara institusional, perguruan tinggi memiliki otonomi dalam menjalankan fungsi tridarma perguruan tinggi dan karena itu seharusnya bebas dari segala bentuk intervensi politik. Dengan otonominya, tanggung jawab perguruan tinggi dalam memproduksi dan mendiseminasikan pengetahuan hanya kepada kebenaran, bukan pada penguasa. Oleh karena itu, tidak seharusnya perguruan tinggi menggadaikan integritasnya sebagai lembaga pengetahuan dengan semata menjadi pelayan kepentingan politik penguasa. Terlebih, terbitnya UU Cipta Kerja serta paket UU bermasalah lainnya adalah petunjuk yang sangat gamblang bagaimana pemerintah dan DPR yang beraliansi dengan pengusaha telah mengacaukan tatanan hukum dan ketatanegaraan yang merusak demokrasi di Indonesia. Respons terhadap kesewenangan penguasa melalui aksi demonstrasi adalah wujud komitmen terhadap kebenaran. Perguruan tinggi yang bertanggung jawab pada tegaknya kebenaran seharusnya menjadi institusi yang berdiri paling depan menentang segala bentuk kesewenangan penguasa. Bukan sebaliknya, sekadar membebek dan menjadi pelayan penguasa.
3. Demonstrasi adalah tindakan yang konstitusional, bagian dari cara dalam menyampaikan pendapat. Demonstrasi dilakukan terutama sebagai respons atas buntunya saluran kritik lainnya, baik yang telah disampaikan melalui kertas kebijakan, karya ilmiah maupun opini di media. Kajian akademik terhadap RUU Cipta Kerja juga telah dilakukan sejak ia pertama dicetuskan oleh Presiden Joko Widodo dalam pidatonya Oktober 2019. Banyak civitas akademika yang telah mengkritik pembahasan draf RUU Cipta Kerja yang sangat tertutup, tidak transparan dan rahasia yang bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Kritik ini telah disampaikan baik melalui tulisan maupun diskusi di berbagai media massa. Kritik serupa baik terhadap proses perumusan dan penyusunan maupun terhadap substansinya juga telah banyak disuarakan oleh para akademisi maupun berbagai elemen masyarakat sipil lainnya. Bukannya mengakomodasi kritik dan masukan masyarakat akademik, pemerintah dan DPR justru menganggap kritik sebagai hoax. Pada kenyataannya, pemerintah dan DPR justru mengakui bahwa hingga kini tidak bisa ditunjukkan adanya draf final yang disahkan oleh DPR pada tanggal 5 Oktober 2020. Hal ini menunjukkan bahwa justru pemerintahlah yang menyebarkan disinformasi dan hoax mengenai UU Cipta Kerja. Tugas perguruan tinggi di antaranya memberikan pencerahan kepada masyarakat dengan melawan berbagai disinformasi yang diproduksi oleh penguasa yang sewenang-wenang serta para pendukungnya.
4. Imbauan kepada dosen untuk tidak memprovokasi mahasiswa melakukan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja adalah bentuk intervensi politik terhadap independensi dosen sebagai akademisi yang hanya bertanggung jawab pada tegaknya kebenaran. Imbauan semacam ini juga cara yang merendahkan seolah mahasiswa tidak memiliki independensi dalam bersikap melihat ketidakadilan dan kesewenangan penguasa. Tanpa diprovokasi oleh dosen, mahasiswa telah menjadi aktor terdepan yang menyuarakan kebenaran bersama buruh, petani, nelayan, kaum miskin kota dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang menjadi korban kesewenangan penguasa.
5. Imbauan kepada mahasiswa untuk tidak ikut berdemonstrasi karena alasan membahayakan keselamatan dan kesehatan di masa pandemi tidak sejalan dengan kengototan pemerintah untuk tetap menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di berbagai daerah. Kampanye pilkada yang diselenggarakan secara berkerumun memiliki risiko yang besar memperburuk penyebaran wabah Covid-19 dengan hasil terpilihnya pemimpin yang cenderung tidak berkualitas. Terlebih, banyak calon kepala daerah yang juga bagian dari keluarga penguasa, termasuk anak dan menantu presiden. Demonstrasi menolak berlakunya UU Cipta Kerja memang memiliki risiko yang kurang lebih sama terkait penyebaran wabah, namun hal itu dilakukan untuk mencapai kemuliaan menentang kesewenangan penguasa dalam aliansinya dengan pengusaha yang telah membajak hukum dan demokrasi di Indonesia.
Berdasarkan penilaian di atas, Aliansi Akademisi Menolak Omnibus Law menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Mendesak Dirjen Kemdikbud untuk tidak berupaya membungkam aspirasi civitas akademika dalam menyampaikan pendapat menolak berlakunya UU Cipta Kerja dengan mencabut surat imbauan kepada perguruan tinggi mengenai larangan demonstrasi
2. Demi tegakknya otonomi kampus dan integritas perguruan tinggi sebagai lembaga pengetahuan yang hanya mengabdi pada kebenaran, mendesak rektor seluruh Indonesia untuk menolak segala bentuk intervensi politik yang sekadar melayani kepentingan penguasa dengan menolak melaksanakan imbauan Dirjen Kemdikbud mengenai larangan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja
3. Mendorong perguruan tinggi seluruh Indonesia untuk mendukung aksi demonstrasi damai dan tertib serta tetap mengikuti protokol kesehatan covid19 guna menentang kesewenangan kekuasaan yang beraliansi dengan pengusaha melalui pembentukan paket UU bermasalah, terutama UU Cipta Kerja
4. Mendorong insan akademik perguruan tinggi agar aktif mengkritisi dan membantah berbagai disinformasi yang disebarkan oleh berbagai pihak untuk mengelabuhi publik mengenai bahaya UU Cipta Kerja. (*)