DIKSI.CO, SAMARINDA - Senin (28/9/2020), persidangan terkait kasus dugaan suap pekerjaan infrastruktur di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur tahun anggaran 2019-2020, kembali bergulir.
Sidang digelar di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor), Jalan M Yamin, Samarinda dan dilakukan secara virtual.
Dua terdakwa ikut dalam proses sidang yaitu rekanan swasta Pemkab Kutim pemberi suap kepada Bupati Non-Aktif Kutim Ismunandar, Aditya Maharani dan Deki Aryanto.
Dua terdakwa itu berada di rumah tahanan (Rutan) KPK Jakarta dan hadiri persidangan hanya melalui sambungan virtual.
Sementara untuk saksi yang dihadirkan ialah Irawansyah selaku Sekretaris Daerah (Sekda) ; H.M Edward Azran Kepala Bappeda Pemkab Kutim. Serta Hendra Ekayana ; Ahmad Firdaus dan Panji Asmara yang ketiganya merupakan staf di Bappeda.
Beberapa pertanyaan diajukan pada saksi pertama Irawansyah. Sekda Kutim itu dimintai penjelasan terkait peran dan tugasnya sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kutim.
Irawansyah diminta menyampaikan proses tahap masuknya dana Pokok Pikiran (Pokir) DPRD Kutim ke dalam APBD. Hingga akhirnya Pokir menjadi proyek yang dikerjakan terdakwa Deki Aryanto sebagai rekanan swasta.
Namun dalam proses persidangan, koneksi internet membuat proses persidangan tertunda.
"Sidang ditunda sampai besok (hari ini) karena tadi ada terkendala masalah teknis di jaringan. Sidang selanjutnya tetap memintai keterangan dari kelima saksi tadi," ungkap Ketua Hakim Agung Sulistiyono ditemui usai persidangan.
Diketahui Aditya Maharani dan Deki Aryanto didakwa memberikan suap kepada deretan Pejabat Tinggi Kutim guna memuluskan sejumlah proyek bernilai puluhan miliar.
Aditya Maharani Direktur PT Turangga Triditya Perkasa serta Deki Aryanto Direktur CV Nulaza Karya, didakwa JPU KPK lantaran terbukti melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomo 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor jo Pasal 65 KUHP.
Dengan dakwaan kedua, Deki maupun Maharani didakwa melanggar pasal 13 UU Nomo 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor jo Pasal 65 KUHP.
Deki didakwa menyogok Bupati Non-Aktif Kutim Ismunandar dan Ketua DPRD Kutim Non-Aktif Encek, melalui Musyaffa serta Anto dengan total uang Rp 8 miliar.
Penyerahan uang diketahui dilakukan di rumah jabatan Bupati Kutim di Jalan Bukit Pelangi dan di rumah Anto tepatnya Loa Ipuh, Tenggarong. Uang suap juga diberikan di kantor Bapenda Komplek Bukit Pelangi. Penyerahan uang terjadi dalam rentang waktu antara 2019 hingga Juni 2020.
Uang yang telah diberikan sebagai biaya kepada Encek karena membantu Deki menyelesaikan pembayaran proyek yang tertunda serta biaya proyek yang berasal dari pokir milik Encek sebagai Ketua DPRD Kutim.
Dalam dakwaan selanjutnya, Deki disebut turut menyuap Ismunandar guna memuluskan proyek bernilai puluhan miliar dengan potongan biaya sebesar 10 persen.
Dalam perkara yang juga menyeret Maharani, dalam bacaan dakwaan disebutkan dia telah memberikan uang sebanyak Rp 6,1 miliar kepada Ismunandar melalui Musyaffa dan Aswandhinie Eka Tirta sebagai Kepala Dinas PU Kutim. (tim redaksi Diksi)