Sebelumnya, pandangan dari kalangan akademisi diberikan Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah atas proses pergantian Ketua DPRD Kaltim dari Makmur HAPK ke Hasanuddin Masud.
Castro, biasa ia disapa anggap bahwa keputusan paripurna untuk melanjutkan proses pergantian ketua DPRD itu, pertanda politik lebih dominan dibanding hukum.
"Mereka itu kan disumpah untuk menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan. Lantas bagaimana mungkin mereka melepeh sumpah itu dengan mendahulukan nafsu politik dibanding aturan hukum?," ujar Castro, Rabu (3/11/2021).
"Ini jelas kemunduran cara berpikir anggota DPRD yang tidak layak ditonton publik. Logikanya begini, sifat putusan mahkamah partai itu kan tidak final dan mengikat, jadi tidak bisa diproses sebelum berkekuatan hukum tetap melalui putusan pengadilan. Satu-satunya putusan partai yang final dan mengikat adalah soal kepengurusan sebagaimana disebut di Pasal 32 ayat (5) UU 2/2011. Jadi selama masih ada upaya hukum yang dilalukan oleh pihak yang keberatan dengan putusan mahkamah partai, maka putusan itu belum bisa dieksekusi," jelasnya lagi.
Dijelaskan Castro, contoh kongkritnya kasus Fahri Hamzah yang dipecat PKS di DPR-RI, atau kasus Viani Limardi yang dipecat PSI di DPRD DKI.
Usulan pergantiannya tidak bisa langsung dieksekusi, sebelum upaya hukum di pengadilan clear.
"Jadi seharusnya DPRD secara kelembagaan taat terhadap hukum, bukan tunduk terhadap kepentingan golongan. Yang lebih aneh lagi, ada anggota DPRD yang goyah iman-nya hanya karena desakan kelompok tertentu. Itu kan konyol namanya," kata Castro. (tim redaksi Diksi)