Sabtu, 23 November 2024

Mahasiswa dan LBH Kecam Tindakan Represif Polisi, Sebut Penetapan Dua Tersangka Banyak Kejanggalan

Koresponden:
Muhammad Zulkifly
Jumat, 6 November 2020 15:20

FOTO : Konfrensi pers yang dilakukan tim aliansi gabungan pada malam tadi. Yang mana mereka akan melakukan praperadilan terkait penetapan status dua tersangka massa aksi demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja/Diksi.co

DIKSI.CO, SAMARINDA - Penetapan dua tersangka oleh massa aksi menolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja di Samarinda pada Jumat (6/10/2020) siang tadi mendapat kecaman oleh mahasiswa dan para aktivis

Dalam siaran pers yang dilakukan secara daring pada pukul 20.00 Wita malam ini, Ricardo selaku Humas Aliansi Mahakam Menggugat mengatakan kalau yang sebenarnya selalu menjadi korban dari setiap aksi adalah para demonstran.

"Kami selalu mendapatkan tindakan represif. Kebebasan berpendapat bahkan yang suudah di atur dalam undang-undang. Membawa sajam (senjata tajam) serta menganiaya aparat adalah tuduhan tanpa dasar," jelas Ricardo. 

Ricardo menyebut kalau polisi hanya sekedar melempar tuduhan tersebut. Bahkan jika mau dihitung secara seksama, Ricardo mengklaim kalau yang menjadi korban di setiap aksi pasti mahasiswa jauh lebih banyak ketimbang polisi itu sendiri. 

Dan pihaknya pun mengecam langkah penangkapan dan penetapan status tersangka kepada dua mahasiswa berinisial FR (24) dan WJ (22).

"Bahkan polisi membuat framing baru kalau ada aparat yang menyamar menjadi wartawan dan melakukan aksi represif kepada kami," kata Ricardo. 

"Soal lemparan bom molotov pun demikian. Kami yang dituduh padahal mereka (polisi) yang menyamar. Dan banyak aparat berseragam sipil saat chaos mereka menarik massa aksi bahkan ada yang menendang kelaminnya," kata Ricardo lagi.

Lanjut Ricardo, akar permasalahan ini ialah disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja. Namun ketika ada penolakan, Presiden RI Joko Widodo justru menghentikan aksi demonstrasi menggunakan aparat berwajib, semisal polisi. 

"Yang awalnya nawacita menjadi duka cita. Karena mereka (polisi) tidak melakukan cara humanis. Kami dituduh aparat kepolisian padahal mereka sendiri yang melakukannya," tegasnya. 

Tak hanya penetapan status Tersangk kepada FR dan WJ, pada kesempatan yang sama Ricardo juga menuding kalau hasil reaktif Covid-19 yang disebutkan polisi hanya bualan belaka. 

"Rapid test itu juga jebakan batman. Kami yang salah dan dituduh segala hal lainnya. Kami sedang diskusi dan konsultasi dengan LBH tujuannya untuk melakukan sikap yang mengecam aparat," sambungnya. 

Sementara itu, Fathul Huda dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda menilai adanya kejanggalan terhadap penetapan tersangka FR. Kata Fathul, pada malam harinya setelah FR digelandang ke Mapolresta Samarinda, ia masih diperiksa sebagai saksi pada Kamis 5 Oktober kemarin. Dan saat pemeriksaan lebih lanjut di pagi harinya, yakni Jumat 6 Oktober, FR langsung dinaikan statusnya sebagai tersangka atas kepemilikan sajam. 

"Ini menjadi catatan kami. Penangkapan tidak manusiawi ditendang diinjak dan digunduli. Aparat jelas melanggar prinsip demokrasi. Kami kecam keras atas nama aliansi atas tindakan brutal para kepolisian," seru Fathul. 

Bahkan Fathul meminta agar para oknum polisi yang melakukan tindak kekerasan kepada para demonstran bisa diproses. Disanksi, dikenakan kode etik bahkan pemecatan secara tidak hormat.

Sebab tindakan represif adalah cerminan buruk bagi wajah kepolisian Indonesia. 

"Bila aparat punya bukti kami juga punya bukti tindakan brutal oknum tersebut. Mari kita buka semuanya apabila diperlukan agar adil dan tidak mendiskriminasi massa aksi seolah-olah massa aksi yang salah. Padahal aparat juga banyak melakukan pelanggaran dan tidak manusiawi," timpalnya. 

Sementara itu, Bernard Marbun yang juga berasal dari LBH Samarinda menyampaikan kalau FR yang dituding membawa sajam jenis badik merupakan setingan semata. Bahkan kata Bernard, sajam yang dituduh milik FR ditemukan sekira delapan meter dari tempat FR diamankan petugas. 

"Di dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dia (FR) berdua sama temannya datang dan tidak membawa apa-apa dan murni mengikuti aksi. Bagaimana mungkin tidak membawa apa apa terus tau tau ada sajam kemungkinan besar FR dijebak," tegasnya.

Aliansi gabungan ini tentu tak akan tinggal diam. Sebab korban sebenarnya dari setiap aksi justru berasal dari kalangan demonstran. 

"Kami akan terus dampingi. Untuk para korban kekerasan oknum polisi kita sudah membuka posko pengaduan dan kita tampung pengaduan yang merasa dirinya dianiaya dan kita akan bela dan dampingi memperjuangkan haknya memperoleh keadilan. Kita akan gelar perkara dan lakukan praperadilan terkait kasus FR dan WN yang ditetapkan sebagai tersangka," pungkasnya. (tim redaksi Diksi) 

 

Tag berita:
Berita terkait
breakingnews