Lanjut Ricardo, akar permasalahan ini ialah disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja. Namun ketika ada penolakan, Presiden RI Joko Widodo justru menghentikan aksi demonstrasi menggunakan aparat berwajib, semisal polisi.
"Yang awalnya nawacita menjadi duka cita. Karena mereka (polisi) tidak melakukan cara humanis. Kami dituduh aparat kepolisian padahal mereka sendiri yang melakukannya," tegasnya.
Tak hanya penetapan status Tersangk kepada FR dan WJ, pada kesempatan yang sama Ricardo juga menuding kalau hasil reaktif Covid-19 yang disebutkan polisi hanya bualan belaka.
"Rapid test itu juga jebakan batman. Kami yang salah dan dituduh segala hal lainnya. Kami sedang diskusi dan konsultasi dengan LBH tujuannya untuk melakukan sikap yang mengecam aparat," sambungnya.
Sementara itu, Fathul Huda dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda menilai adanya kejanggalan terhadap penetapan tersangka FR. Kata Fathul, pada malam harinya setelah FR digelandang ke Mapolresta Samarinda, ia masih diperiksa sebagai saksi pada Kamis 5 Oktober kemarin. Dan saat pemeriksaan lebih lanjut di pagi harinya, yakni Jumat 6 Oktober, FR langsung dinaikan statusnya sebagai tersangka atas kepemilikan sajam.
"Ini menjadi catatan kami. Penangkapan tidak manusiawi ditendang diinjak dan digunduli. Aparat jelas melanggar prinsip demokrasi. Kami kecam keras atas nama aliansi atas tindakan brutal para kepolisian," seru Fathul.
Bahkan Fathul meminta agar para oknum polisi yang melakukan tindak kekerasan kepada para demonstran bisa diproses. Disanksi, dikenakan kode etik bahkan pemecatan secara tidak hormat.