"Naskah akademik harus diperbaiki. Review yang saya lakukan dengan DPR RI tidak memadai. Kaltim harus merangkai ulang naskah akademik secara detail. Memiliki kerangka berfikir akademiknya," kata Prof Purwo, Kamis (7/10/2021).
Akademisi dari Universitas Gadjah Mada ini menjelaskan, RUU HKPD mestinya menjadi ruang daerah penghasil melakukan negosiasi ke pusat.
"Pembahasan RUU ini jadi negosiasi daerah ke pusat. Tapi megosiasi jangan asal nyaring dan lantang, tapi menfgubakan cara elegan. Nanti jika tim dari daerah terbentuk untuk melakukan negosiasi, perlu kerangka berpikir secara akademis," sambungnya.
Untuk itu, Prof Purwo juga mengingatkan pusat agar menunda terlebih dahulu pengesahan RUU HKPD menjadi undang-undang.
Diketahui, pemerintah menarget pengesahan UU HKPD dilakukan pada akhir tahun 2021 ini.
"Pengesahan UU HKPD harus ditanah, jika buru buru disahkan. Memajukan Indonesia jadi terhampat, lantaran hanya memastikan APBN dan APBD tersedia itu aja. Naskah akademik sebagai ajuan menyusun RUU mesti dikaji ulang," tegasnya.
DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan bagi APBD. DAU yang dikeluarkan pemerintah pusat adalah sebesar 26 persen dari pendapatan dalam negeri neto.
Kemudian, DAU yang diterima daerah sendiri merupakan pendapatan dalam negeri neto untuk periode dua tahun sebelumnya. Ini dimaksudkan guna memberikan jeda waktu penganggaran sehingga tidak terburu-buru dalam menyusun APBD.
Sementara itu, Aji Sofyan Effendi, Pengamat Ekonomi dari Universitas Mulawarman menyampaikan permasalahan dana bagi hasil bukan berada di keadilan transfer daerah, namun bagaimana negara bisa meningkatkan APBN.
APBN Indonesia berkisar kurang lebih di angka Rp2000 triliun. Dengan jumlah anggaran itu, Indonesia tidak bisa berbuat banyak melakukan pembangunan.