Tolak Klaim Penurunan Angka Kemiskinan BPS, Ini Kata Koalisi Serikat Pekerja dan Partai Buruh

DIKSI.CO – Koalisi Serikat Pekerja dan Partai Buruh (KSP-PB) menolak pernyataan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebut angka kemiskinan di Indonesia menurun pada Maret 2025.

Dalam siaran pers yang dirilis Selasa (29/7), KSP-PB menyebut klaim tersebut tidak mencerminkan kenyataan di lapangan dan lebih bersifat politis.

KSP-PB yang terdiri dari 4 konfederasi serikat pekerja, 63 federasi tingkat nasional, 9 organisasi kerakyatan, dan Partai Buruh di 38 provinsi menilai data BPS keliru karena menggunakan metodologi yang sudah usang.

“BPS masih menggunakan metodologi dengan asumsi Indonesia sebagai negara berpenghasilan rendah. Padahal saat ini Indonesia sudah dikategorikan sebagai negara berpenghasilan menengah atas oleh lembaga internasional,” ujar Said Iqbal, Presiden Partai Buruh dan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

BPS menyatakan bahwa angka kemiskinan per Maret 2025 mencapai 8,47 persen atau sekitar 23,85 juta orang.

Sementara itu, garis kemiskinan nasional ditetapkan sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan.

Namun menurut KSP-PB, standar tersebut tidak relevan.

Jika mengacu pada standar Bank Dunia sebesar USD 5 per hari (setara Rp 756.000 per bulan), maka jumlah orang miskin di Indonesia mencapai sekitar 68 juta jiwa.

Bahkan bila digunakan ambang USD 6,5 PPP (Rp 1,2 juta per bulan), maka angka kemiskinan disebut bisa mencapai 68 persen dari populasi nasional, atau sekitar 190 juta jiwa.

Selain itu, KSP-PB juga menyoroti kondisi ketenagakerjaan yang memburuk. Berdasarkan catatan Litbang KSP-PB, sekitar 70 ribu buruh mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada periode Januari hingga April 2025.

“Dengan lonjakan angka PHK, seharusnya angka kemiskinan meningkat, bukan turun seperti yang diklaim BPS,” tambah Said Iqbal.

Menanggapi hal ini, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono, menjelaskan bahwa pihaknya masih menggunakan PPP 2017 karena menyesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.

“Kami menyesuaikan metodenya. PPP-nya tetap kami pakai agar evaluasi pembangunan tetap berkesinambungan,” ujar Ateng, dikutip dari Kompas.com, Jumat (25/7).

Perdebatan ini menyoroti perbedaan tajam antara pendekatan statistik makro oleh pemerintah dan pengalaman ekonomi riil yang dialami masyarakat pekerja di lapangan. (*)

Exit mobile version