Bahkan, Ahmad juga menyebut bahwa pembiaran lubang bekas tambang adalah sebuah pelanggaran hukum yang secara jelas termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 78/2010 tentang reklamasi dan pasca tambang oleh pemegang IUP dan IUPK.
Apabila hal tersebut tak dilaksanakan, maka pihak perusahan atau yang bersangkutan bisa disanksi dengan UU nomor 3/2020 atas perubahan UU nomor 4/2009 tentang pertambangan mineral dan batubara.
Selain itu, pembiaran void juga sejatinya dinilai para demonstran telah melanggar Perda Kaltim nomor 8/2013 tentang penyelenggaraan reklamasi pasca tambang dalam PP nomor 78/2010 dan Permen nomor 26/2018.
“Pada intinya kami meminta perusahaan menutup (lubang bekas galian tambang), karena banyak mudarat daripada manfaatnya. Selain itu kami juga mendesak agar pihak kepolisian dari Kapolda, Kapolres Samarinda dan Kapolres Kukar melakukan pengusutan atas peristiwa hilangnya 2 korban jiwa di lubang tambang BBE pada 2016 lalu yang sampai saat ini tidak jelas penyelesaiannya,” tekan Ahmad lagi.
Untuk mereda aksi massa, perwakilan perusahaan yakni Raden Agah Wahyu selaku Kepala Teknik Tambang (KTT) PT BBE memberi penjelasan bahwa reklamasi sejatinya telah dilakukan perusahaan namun dalam bentuk berbeda yang tak melulu soal penutupan void.
“Kita melaksanakan reklamasi dalam bentuk lain. Apa kalian tahu? Kita ini perusahaan legal,” sebut Raden Agah di depan massa aksi.