“Iya siap lah. Mereka sendiri yang bilang, mau bayar retribusi daripada mereka ngikut lapak diikuti pemkot bisa liat penarikannya, ditambah pendapatan minimalis,” timpalnya.
Sementara itu massa aksi yang terpantau melibatkan anak di bawah umur dengan memegang alat praga ditegaskan Fathul bukanlah sebuah eksploitasi anak sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 87 UU 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Kata Fahtul, anak-anak itu ikut merupakan sebuah spontanitas karena orang tua mereka yang merupakan PKL sedang melakukan aksi konprensi pers di Tepian Mahakam.
“Itu bukan aksi. Aksi itu harus ada pemberitahuan kepada pihak kepolisian. Itukan konprensi pers. Konteksnya berbeda, kan diundangan juga konprensi pers. Kalau itu aksi, logikanya ngapain kita lakukan itu di depan kantor gubernur,” terangnya.
Sementara itu menurut Pengamat Tata Kota, Warsilan pro kontra yang terjadi di Tepian Mahakam merupakan persoalan pelik antar peraturan tata ruang dan kondisi sosial masyarakat.
Namun demikian Pengajar S2 Lingkungan di Universitas Mulawarman itu menyebut, kalau langkah pemkot mengembalikan fungsi kawasan bukanlah sesuatu yang salah.
“Tindakan Pemkot benar tidak salah, tetapi tak bisa dipungkiri ada masalah sosial yang juga harus dipikirkan, jadi harus ada RTH yang bisa juga digunakan untuk kepentingan wisata dan sosial masyarakat,” tutur Warsilan.
Lebih jauh diungkapkannya, kawasan Tepian memang menjadi lokasi pertemuan favorit masyarakat Kota Tepian dari tahun ke tahun.
Seiring berjalannya waktu, dengan adanya aktivitas, otomatis menimbulkan massa yang lebih besar. Termasuk dengan pedagang dan aktivitas ekonomi kerakyatan yang akhirnya berbenturan dengan kondisi kebutuhan RTH.