DIKSI.CO, SAMARINDA - Persaingan tiga pasangan calon (Paslon) calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Samarinda menuju babak akhir.
Usai pemilihan serentak 9 Desember 2020 penyelenggara Pilkada yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Samarinda sedang menghitung perolehan surara masing-masing Paslon di 1962 TPS.
Namun, yang kerap terjadi usai perhitungan suara oleh KPU adalah sengketa Pilkada antara Paslon dengan KPU. Berdasarkan Undang-Undang (UU) sengketa Pilkada diatur dalam UU nomor 10 tahun 2016.
Melihat hal tersebut akademisi hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Herdiansyah Hamzah memberikan penjelasan lebih lanjut. Menurutnya pengajuan sengketa hasil Pilkada ditentukan oleh selisih hasil perolehan suara. Perolehan suara itu ditentukan berdasarkan persentase jumlah penduduk.
Jumlah penduduk Kota Samarinda saat ini kurang lebih 886.806 jiwa. Berdasarkan jumlah tersebut, berdasarkan pasal 158 ayat (2) huruf c UU nomor 10 tahun 2016 tentang pilkada kata Herdiansyah Hamzah bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan syarat tertentu.
"Maka pengajuan sengketa hasil hanya dapat diajukan jika terdapat perbedaan paling banyak 1 persen dari total suara sah hasil perhitungann suara tahap akhir oleh KPU," ucap Herdiansyah Hamzah.
Jika lebih dari satu persen dari total suara sah maka dipastikan Mahkamah Konstitusi menolak permintaan tersebut.
"Ketentuan ini diperkuat oleh Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 tahun 2020 tentang Tata Cara Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pilkada," ucap pria yang disapa Castro ini.
Saat ini ia menyarankan kepada seluruh paslon untuk bersabar. Sembari menunggu hasil penghitungan suara resmi dari KPU. (tim redaksi Diksi)