Sabtu, 23 November 2024

Nah Kan, Pusat Studi Anti Korupsi Unmul Cium Aroma Korupsi Kartu Pekerja, Minta KPK Ambil Tindakan

Koresponden:
diksi redaksi
Jumat, 8 Mei 2020 0:24

Ilustrasi kartu prakerja/ tribunnews

DIKSI.CO, SAMARINDA - Program kartu prakerja dihujani kritik oleh berbagai kalangan. Bahkan dianggap sebagai program yang rentan atau rawan korupsi. Tak jarang pula yang menyebut jika program ini semacam parasit yang menjadi penumpang gelap (free rider) di tengah pandemi Covid-19. Anggapan ini bukan tanpa alasan.

Sebab beragam kontroversi menyertai kelahiran program andalan Presiden Jokowi ini. Mulai dari isu konflik kepentingan (conflict of interest), kisruh staf khusus mileneal Presiden, hinnga penunjukan perusahaan e-commerce sebagai mitra kerja tanpa melalui proses tender.

E-commerce, adalah bentuk platform yang dipilih oleh Pemerintah sebagai mitra, untuk menjalankan program kartu prakerja ini. Polemik mitra ini mulai mengemuka dan mendapatkan sorotan publik, saat ruangguru diketahui sebagai salah satu dari delapan perusahaan rintisan (start-up) yang ditetapkan sebagai mitra pelatihan kartu prakerja.

Ruangguru adalah perusahaan teknologi berbasis pendidikan, yang didirikan oleh staf khusus milineal Presiden Jokowi, Adamas Belva Syah Devara . Diduga terjadi konflik kepentingan antara keterpilihan ruangguru sebagai salah satu mitra kartu prakerja, dengan posisi Belva sebagai staf khusus Presiden. Posisi staf khusus Presiden, tentu sangat memungkinkan untuk memperdagangkan pengaruhnya (trading in influence) demi mendapatkan keuntungan tertentu. 

Selain soal keterpilihan ruangguru sebagai mitra kartu prakerja yang dinilai sarat konflik kepentingan, polemik lain yang mendapat sorotan publik adalah soal penunjukan 8 perusahaan e-commerce sebagai mitra kartu prakerja, tanpa melalui proses tender . Kebijakan ini dinilai sangat kontroversial, mengingat tidak dilakukan melalui prosedur atau mekanisme sebagaimana yang diatur di dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Penunjukan tanpa tender ini, diakui sendiri oleh Pemerintah melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani . Alasan utamanya, karena 8 mitra ini yang dianggap sudah siap, untuk itu Pemerintah tidak melakukan tender dengan platform tersebut. 

Ketiadaan tender itu dikarenakan tidak adanya penyelenggaraan barang atau jasa yang dibayarkan pada perusahaan digital yang menjadi mitra. Pembeliannya adalah kepada content provider . Alasan ini tentu tidak bisa kita terima begitu saja, sebab otoritas operasional jasa pelatihan daring yang disiapkan dalam kartu prakerja ini, tetap berada di tangan 8 perusahaan e-commerce tersebut. Lantas bagaimana mungkin Pemerintah menyebut mereka tidak menyelenggarakan usaha yang menyediakan jasa? Disamping itu, penunjukan hanya dengan alasan “kesiapan”, cenderung sangat subjektif dan sarat dengan kepentingan. Jadi rasanya sulit untuk tidak mengatakan, jika penunjukan tanpa tender ini, adalah kebijakan yang beraroma korupsi. 

Aroma korupsi tidak hanya tercium dari proses penunjukan mitra kartu prakerja tanpa melalui proses tender itu. Namun bau menyengat itu juga tercium dari ketidakwajaran kalkulasi anggaran untuk kartu prakerja ini. Dalam program kartu prakerja, Pemerintah memberikan biaya sebesar 3,55 juta untuk membayar biaya pelatihan (kursus) dan insentif bagi pesertanya. Pagu untuk membayar pelatihan melalui sistem daring, ditetapkan sebesar 1 juta. 

Sementara untuk insentif, terdiri dari dua bagian, yakni insentif pasca penuntasan pelatihan pertama sebesar 600 ribu per bulan selama 4 bulan, dan insentif pasca pengisian survei evaluasi sebesar 50 ribu per survei untuk 3 kali survei. Pelatihan kartu prakerja ini menargetkan 5,6 juta peserta. Jika masing-masing peserta diberikan dana sebesar 1 juta untuk pelatihan berbasis daring, maka akan menghabiskan anggaran sebanyak 5,6 trilun. 

Pertanyaannya adalah, apa mungkin anggaran 5,6 trilun ini, habis hanya untuk pelatihan daring saja? Ini tentu saja tidak wajar. Bagaimana mungkin program yang seharusnya bisa diakses bahkan dengan gratis, justru menghabiskan anggaran hingga puluhan triliun? Bahkan banyak kalangan menyebut jika terdapat penetapan harga yang tidak wajar dalam program pelatihan daring ini. Harga pelatihan masing-masing 8 mitra berada dikisaran antara 200 ribu hingga 1 juta. Bandingkan dengan tutorial gratis yang bisa didapatkan dari Youtube dan Google. 

Salah satu cara untuk menilai suatu tindakan penggunaan anggaran itu berpotensi korupsi atau tidak, adalah dengan memotret kesesuaian antara besaran dana dengan wujud kegiatannya. Jika kegiatan yang dilakukan tidak sebanding dengan dana yang harus dikeluarkan, maka tentu ada problematik di sana. Hal inilah yang bisa kita tangkap sebagai pertanda kuatnya aroma korupsi dalam program kartu prakerja

Untuk itu, Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, menyatakan sikap sebagai berikut :

Pertama, meminta kepada Pemerintah untuk menjelaskan secara terbuka perihal keterpilihan 8 platform perusahaan digital sebagai mitra program kartu prakerja tanpa proses tender. Publik butuh penjelasan lebih dari sekedar alasan kesiapan sebagaimana yang disampaikan oleh menteri keuangan. Sebab keterpilihan 8 platform perusahaan digital tersebut tanpa alasan yang rationable dan dapat dipertanggungjawabkan, sama saja dengan tindakan penggunaan diskresi yang berlebihan, yang berpotensi korupsi.

Kedua, Pemerintah harus menjelaskan rasionalisasi anggaran pelatihan dalam jaringan (daring) yang memakan biaya hingga 1 juta per orang, atau total keseluruhan anggaran sebesar 5,6 triliun hanya untuk pelatihan daring ini. Sebab penggunaan anggaran sebesar 5,6 triliun hanya untuk pelatihan daring, adalah hal yang tidak wajar. Hal ini jelas menjadi pertanda kuatnya aroma korupsi dalam program kartu prakerja ini.

Ketiga, meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mendalami dugaan adanya perbuatan melawan hukum yang mengarah kepada tindak pidana korupsi dalam kebijakan program kartu prakerja ini.

Keempat, meminta kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai pengawas eksternal, untuk melakukan audit terhadap segala penggunaan anggaran dalam program kartu prakerja ini. Sebab jika hanya mengandalkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), tidak ada jaminan pengawasan dapat berlangsung objektif.

Kelima, meminta kepada seluruh elemen gerakan masyarakat sipil, untuk tetap mengawasi penggunaan anggaran negara yang berpotensi dimanfaat oleh para penumpang gelap (free rider) di masa pandemi Covid-19 ini. Jangan sampai terjadi perampokan uang rakyat atas nama kemanusiaan. (tim redaksi Diksi) 

Press Release oleh Herdiansyah Hamzah (Castro), Sekretaris Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman

 

Tag berita:
Berita terkait
breakingnews