DIKSI.CO, SAMARINDA - Kuasa Hukum Firman membeberkan sejumlah fakta-fakta di dalam persidangan perdana, terhadap terdakwa perkara pembawa senjata tajam (sajam) dalam aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law, yang berlangsung via daring di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda, pada Rabu (27/1/2021) lalu.
Mereka menuding, bahwa dalam proses peradilan yang tengah dijalani Firman, mendapatkan sejumlah ketidakadilan dari institusi penegak hukum. Dalam hal ini adalah aparat Kepolisian, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hingga Majelis Hakim di PN Samarinda.
Hal itu pula yang menjadikan alasan bagi terdakwa, melalui kuasa hukumnya untuk memilih Eksepsi dalam persidangan agenda bacaan dakwaan. Bernard Marbun selaku Kuasa Hukum Firman menyampaikan, hal apa saja terkait ketidakadilan yang dialami kliennya tersebut melalui konferensi pers yang digelarnya pada Kamis (28/1/2021) lalu.
Bernard sebagai kuasa hukum mengaku selama ini tidak pernah bertemu dengan kliennya Firman. Menurutnya, ini sebuah pelanggaran yang harus diperhatikan. Sebab, kuasa hukum memiliki hak untuk berkomunikasi secara leluasa dengan kliennya.
Namun aparat penegak hukum negara tak memberikan hak tersebut. Disebutkan Bernard, sidang yang diikuti Firman secara daring pun tidak berjalan maksimal dan berindikasi akan merugikan kliennya.
Disebutkanya, dalam persidangan perdana yang dipimpin oleh Edy Toto Purba selaku Ketua Majelis Hakim dengan didampingi Agus Raharjo dan Hasrawati Yunus sebagai Hakim Anggota, JPU Melati dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Samarinda membacakan surat dakwaan dan menjerat Firman dengan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang (UU) Darurat Nomor 22/1991.
Dikatakan Bernard, didalam persidangan yang berlangsung via daring saat itu, terdakwa Firman mengaku tak dapat mendengarkan secara jelas suara dari JPU yang tengah membacakan dakwaan. Kendati dengan kondisi demikian, namun Ketua Majelis Hakim tetap bersikeras untuk melanjutkan persidangan. Sehingga berkesan dipaksakan.
"Akan tetapi ketua majelis hakim dalam hal ini Pak Edy Toto Purba, tetap bersikeras untuk menjalankan persidangan secara online. Sidang ini tetap dijalankan dengan alasan sudah menjadi bagian dari protokol kesehatan Covid-19," ungkapnya kepada awak media.
"Akhirnya, terkesan dipaksakan lah sidang untuk berjalan. Begitu masuk dalam sesi pembacaan dakwaan, suara daripada JPU saat tidak terdengar jelas. Karena perangkat yang disediakan oleh PN Samarinda itu tidak maksimal untuk memfasilitasi," sambungnya.
Sehingga pada saat JPU usai membacakan dakwaannya, Firman yang kala itu ditanya dan dimintai tanggapannya oleh Majelis Hakim, mengaku tidak memahami atas apa yang sudah didakwakan.
"Proses persidangan secara daring seperti ini, tidak bisa berjalan secara maksimal. Ini terbukti dari klien kami yang ditanya oleh majelis hakim, ternyata dia bengong. Dia tidak mengerti dan memahami apa yang disebutkan dalam dakwaan oleh JPU," ucapnya.
Lanjut Bernard, atas dasar itulah dirinya sempat meminta kepada Majelis Hakim agar di persidangan selanjutnya, terdakwa dapat dihadirkan didalam persidangan secara langsung. Namun permintaan itu ditolak, dengan alasan situasi Pandemi COVID-19 saat ini.
Di sisi lain persidangan seperti ini dianggapnya tidak akan berjalan maksimal. Dikarenakan teknologi yang tidak memadai, dirasa tidak akan mampu menerjemahkan kebenaran didalam persidangan.
"Makanya kami menolak sidang dilakukan secara daring. Karena itu akan sangat merugikan klien kami," katanya.
Sedangkan kliennya yang telah ditetapkan sebagai terdakwa, memiliki hak untuk mengetahui apa saja pasal-pasal yang telah didakwakan. "Apabila pengadilan negeri dalam hal ini tetap menjalankan persidangan secara online. Maka ini adalah sebuah Pelanggaran terhadap hak dari terdakwa itu sendiri," jelasnya.
"Bahwa terdakwa memiliki hak untuk mendapatkan keadilan secara adil dan maksimal. Jika tetap masih saja dilaksanakan proses peradilan, maka ini adalah ini peradillan yang tidak adil," lanjutnya.
Sebagai kuasa hukum Bernard juga merasa keberatan kepada JPU. Karena hingga sidang dimulai, dirinya tak diberikan salinan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) turunan dari JPU kepada pihak terdakwa. Sementara lazimnya salinan BAP tersebut, semestinya diserahkan sebelum persidangan berlangsung.
"Dasar hukumnya adalah pasal 143 ayat 4 KUHP, disitu dijelaskan bahwa sebelum persidangan turun BAP lengkap itu harus diberikan kepada terdakwa lewat kuasa hukumnya," jelasnya.
Dijelaskannya bahwa salinan BAP sangatlah krusial dan sangat diperlukan untuk menyampaikan eksepsi dakwaan pada sidang berikutnya. "Namun sampai dengan proses persidangan turunan BAP tersebut tidak diserahkan kepada kami," ucapnya.
Pihaknya pun telah meminta salinan BAP tersebut didalam persidangan. Kala itu majelis hakim menyarankan agar kuasa hukum terdakwa untuk berkomunikasi kepada JPU.
"Namun ketika kami minta, JPU malah menyebutkan kalau kuasa hukum harus bersurat terlebih dahulu ke PN Samarinda," bebernya.
Atas pernyataan JPU seperti itu, menurut Bernard ada indikasi bahwa JPU berusaha menghalang-halanginya untuk memperoleh BAP turunan lengkap.
"Sedangkan kami sangat membutuhkan sekali terkait BAP turunan lengkap itu. Ini berguna untuk mengambil langkah-langkah hukum didalam persidangan," jelasnya lagi.
Lanjut Bernard menyampaikan, masih terkait disaat terdakwa dimintai tanggapannya oleh Majelis Hakim perihal dakwaan yang dibacakan. Terdakwa Firman melalui Kuasa Hukumnya lalu memilih langkah dengan ajukan eksepsi.
"Kami diberikan waktu selama seminggu, untuk menyusun eksepsi. Namun sampai hari ini, turunan BAP secara lengkap tadi, belum juga diserahkan JPU ke kami," katanya.
Sehingga ada indikasi JPU telah melakukan pelanggaran, karena telah menghalangi tugas kuasa hukum yang tengah mengerjakan penyusunan eksepsi. Tak hanya salinan BAP saja yang tak diberikan JPU kepada terdakwa maupun Kuasa Hukumnya.
Salinan dakwaan pun yang seharusnya dapat diperoleh pun tak kunjung diberikan. Hal itu lah yang juga membuat perisidangan berjalan tidak maksimal.
"Selain itu, sebelum sidang dimulai. Dakwaan seharusnya juga diserahkan ke terdakwa atau ke Kuasa Hukumnya. Tapi sampai kemarin sidang perdana, itu tidak ada diserahkan. Sehingga terdakwa tidak tau apa yang telah didakwakan kepada dirinya," katanya.
Sebelum persidangan ditutup oleh majelis hakim, Kuasa Hukum pada kesempatan itu lalu meminta kliennya tersebut dapat diberikan kesempatan pemeriksaan kesehatannya. Selain itu, pihaknya juga meminta agar Firman tetap diberikan fasilitas guna menempuh pendidikannya. "Karena pada hari Jumat, Firman akan melakukan ujian akhir semester," ucapnya.
"Jadi yang kami minta, agar sidang dilakukan secara langsung, pemeriksaan kesehatan dan fasilitas pendidikan terdakwa. Jadi itulah beberapa point yang coba kami perjuangkan didalam persidangan kemarin," imbuhnya.
Terkait pemeriksaan kesehatan bagi terdakwa yang saat ini telah ditahan dari Sel Tahanan Mapolresta Samarinda ke Lapas Klas II A Samarinda, diungkapkan oleh Bernard. Bahwa terdakwa kerap mengeluhkan sakit dibagian kepalanya. Keluhan itu sudah lama dialami kliennya. Tepatnya sejak dilakukan penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
"Terkait mengenai sakit yang dikeluhkan Firman itu sudah terjadi dari penangkapan yang dilakukan oleh pihak Polresta Samarinda. Saat itu, Firman mengalami sebuah penganiayaan dipukul sampai kepalanya bocor, lalu rambutnya dipotong secara serampangan oleh kepolisian," bebernya lagi.
Pasca mengalami penganiayaan yang dilakukan oleh polisi, sampai dengan saat ini Firman belum mendapatkan pemeriksaan keseluruhanya. "Dampak dari pukulan itu masih terasa. Makanya kami sudah mintakan kepada kepolisian untuk diperiksakan. Padahal kami sudah ajukan pemeriksaan kesehatannya pada tanggal 9 November 2020 lalu," sambungnya.
Meski sudah beberapa kali mengajukan permohonan pemeriksaan kesehatan terhadap terdakwa, Namun Polresta Samarinda tidak pernah menggubris permintaan tersebut. "Seharusnya, permohonan ini langsung ditindaklanjuti," katanya.
Tidak hanya dari kepolisian, ditingkat kejaksaan pun juga disebutnya demikian. Permintaan pemeriksaan kesehatan juga tidak mendapatkan tanggapan.
"Sehingga kami memintakan didalam kesempatan persidangan kemarin, untuk difasilitasi klien kami ini untuk dilakukan proses pemeriksaan kesehatan. Karena sampai saat ini Firman mengeluh sakit dibagian kepalanya," terangnya.
Lebih dalam lagi Bernard menyampaikan, bahwa pihaknya selama ini tidak pernah diberikan kesempatan untuk bertemu ataupun berkomunikasi kepada kliennya. Sementara adalah suatu hak, bagi para tersangka maupun terdakwa yang ditahan, agar dapat berkonsultasi masalah hukumnya kepada Kuasa Hukumnya.
Penjegalan kerap dilakukan oleh pihak Polresta Samarinda, dengan alasan tengah menjalankan protokol kesehatan COVID-19. Namun alasan tersebut tanpa adanya solusi, agar Firman tetap dapat berkomunikasi dengan Kuasa Hukumnya. Mengingat hak dari terdakwa ataupun tersangka itu sebenarnya sudah diatur dan dilindungi oleh hukum.
"Kita sudah berupaya untuk dapat berkonsultasi dengan Firman. Tapi kami tidak bisa bertemu karena ini Protokol Covid-19. Bila ini yang menjadi alasan, seharusnya dari pihak kepolisian itu mencari alternatif agar tetap hak dari klien kita ini tetap bisa berjalan. Jadi sampai saat ini tidak ada solusi konkrit," ungkapnya lagi.
Telah berulangkali meminta, polisi tak dapat menyampaikan alasan yang jelas. Sedangkan Kuasa Hukum Firman sebenarnya telah mengajukan agar tetap dapat diberikan fasilitas berkomunikasi, meskipun hanya dengan cara via jaringan seluler ataupun via daring.
"Kami sudah berkonsultasi dengan difasilitasi via telepon, daring seperti zoom atau bagaimana baiknya. Tapi tetap tidak bisa. Jadi sebenarnya masih banyak cara, agar klien kami bisa berkomunikasi dengan kami. Tapi ini tidak ada solusinya, hanya dengan alasan protokol Kesehatan hak dari klien kami tidak diberikan," katanya.
"Kita harus ingat, satus Samarinda ini tidak PSBB, didaerah yang melaksanakan PSBB saja, itu masih bisa mempersilahkan Kuasa Hukum untuk bertemu dengan kliennya. Sehingga patut dipertanyakan terkait kewenangan yang telah diatur dari kepolisian ini," kuncinya.
Karena tidak dapat berkomunikasi ataupun bertemu dengan Firman. Selama ini pihaknya hanya dapat mengetahui kondisi kliennya tersebut melalui kabar rekan Firman.
"Kami hanya mendapatkan kabar dari Wisnu, yang berkomunikasi dengan temannya. Dan temannya ini, menyampaikan kepada kami apa yang dialaminya didalam sel tahanan. Sampai sebegitu susahnya kami dibuat seperti ini," ucapnya.
Kini Firman telah dipindahkan penahanannya ke Lapas Klas II A Samarinda. Sehingga Bernard pun sangat berharap, agar pihak Lapas dapat memfasilitasi pertemuan antara Firman dengan Kuasa Hukumnya, perihal konsultasi masalah hukumnya.
"Kami sudah minta ke pihak Lapas untuk dapat difasilitasi bertemu dengan klien kami ini. Kemudian meminta untuk difasilitasi Pemeriksaan kesehatan dan Fasilitas agar firman dapat mengikuti ujian akhir semester. Tiga surat ini sudah kami serahkan pula ke Lapas," ucapnya.
Sementara waktu ini, dirinya masih belum bisa bertemu dengan Firman yang tengah ditahan di Lapas Klas II A Samarinda. Dikarenakan Firman masih harus mengikuti proses karantina selama seminggu pasca pemindahannya dari Polresta Samarinda ke Lapas Klas II A Samarinda.
"Kami sangat berharap Rutan dapat memfasilitasi pertemuan kami dengan Firman. Entah nantinya dengan cara video call, atau via telepon. Dan kalaupun misalnya itu juga tidak ditanggapi, maka kami akan bersurat ke kemenkumham," tegasnya.
"Misalnya di waktu tujuh hari ini tidak cukup untuk menyusun eksepsi karena terjegal bertemu dengan Firman, kami minta penundaan persidangan. Sampai nantinya betul-betul bisa berkonsultasi ke Firman," tandasnya.
Sementara itu, terkait tudingan yang telah disampaikan oleh Kuasa Hukum Firman tersebut, media ini pun melakukan upaya konfirmasi ke Aparat Penegak Hukum yang ditujukan. Yakni Polresta Samarinda, JPU Melati dari Kejari Samarinda serta PN Samarinda.
Namun hingga Jumat (29/1/2021) sore, pihak dari Polresta Samarinda dan JPU Kejari Samarinda tidak dapat dikonfirmasi. Media ini bahkah telah berupaya menghubungi yang bersangkutan namun tak mendapatkan tanggapan.
Sementara itu dikonfirmasi terpisah, Juru Bicara Hakim PN Samarinda Abdul Rahman Karim menyampaikan tanggapan tudingan dari Kuasa Hukum Firman kepada media ini. Disebutkanya, untuk terkait penolakan terhadap menghadirkan terdakwa secara langsung didalam persidangan itu telah diatur disaat Pandemi COVID-19.
Hal itu berdasarkan Perma No. 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Negeri harus dilakukan Secara Eltektronik mengingat situasi yang sedang tidak menguntungkan di saat pandemi COVID-19.
"Di dalam Perma No 4 tahun 2020, itu sudah diatur tentang tatacara persidangan. Mulai dari pendaftaran perkara dilakukan secara elektronik. Sehingga terdakwa dapat dihadirkan dari Rutan atau Lapas. Kuasa Hukumnya di kantornya dan Hakim di Ruang Sidang," jelasnya.
Lanjut pria yang akrab disapa Rahman itu mengatakan, bahwa sebenarnya terdakwa seharusnya hadir berdampingan dengan terdakwa. Namun karena situasi yang tidak memungkinkan, sehingga mau tak mau harus mengikuti regulasi yang telah diatur didalam Peraturan Mahkamah Agung.
"Karena, kalau sampai terdakwa dikeluarkan (ikut di persidangan secara langsung) itu sangat rawan. Jadi harus Rapid Test lagi, Uji Swab lagi. Ini bukan bicara satu orang saja, tapi nasib banyak orang didalam tahanan. Kalau sampai terinfeksi COVID-19," terangnya.
Terkait masalah jaringan yang sempat menjadi kendala bukan kehendak dari Majelis Hakim.
"Di dalam Perma, itu juga sudah diatur, apabila terjadi gangguan persidangan dapat diskors. Bisa ditunda sampai jaringannya bagus. Apabila lewat dari satu jam masih tidak mempuni bisa ditunda," tandasnya.
Sehingga apa yang ditudingkan oleh Kuasa Hukum terdakwa Firman dianggap tanpa ada landasan yang benar. "Karena kami ini ada dasar hukumnya. Jadi kami akanntetap melakukan persidangan sesuai dengan aturan dan hukum acara. Silahkan lah diperdebatkan ditempat lain," tegasnya. (tim redaksi Diksi)