Sabtu, 23 November 2024

Sudah Bebas, Mahasiswa Papua Telantar di Balikpapan

Koresponden:
diksi redaksi
Kamis, 2 Juli 2020 13:53

Ferry Kombo dan pengacara Bernard

DIKSI.CO, BALIKPAPAN - Dua mahasiswa Papua sudah bisa menghirup udara bebas setelah habis masa penahanan di Rumah Tahanan (Rutan) Balikpapan Kalimantan Timur (Kaltim).

Permasalahan baru muncul saat keduanya kehabisan bekal biaya pulang ke daerahnya masing masing. 

“Kami butuh biaya besar untuk pulang kembali ke Papua,” keluh aktivis BEM Universitas Cendrawasih (Uncen) Ferry Kombo (25) di Balikpapan, Selasa (2/7/2020). 

Masa penahanan Ferry Kombo dan Alexander Gobai (Universitas Sains dan Teknologi Jayapura) habis sesuai putusan Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan.

Keduanya sempat ditahan 10 bulan saat menjalani proses persidangan kasus kerusuhan demo massa di Jayapura, pertengahan tahun lalu. 

Ferry mengungkapkan, rute perjalanan Balikpapan – Jayapura harus ditempuh mempergunakan jalur transportasi udara.

Ia memperkirakan, setidaknya butuh biaya minimal Rp 4 juta  pulang ke Jayapura.

Sebagai anak petani, Ferry mengaku keluarganya cukup terbebani harus menanggung biaya pemulangan sebesar itu.

Ia pun kesulitan berkomunikasi dengan orang tuanya akibat keterbatasan telekomunikasi. 

Semenjak bebas, Ferry dan Alexander pun terpaksa menumpang ke rumah simpatisan HAM Balikpapan.

Mereka berinisiatif menunggu lima rekan lainnya yang masih dalam tahanan. 

Para tahanan tersisa; Irwanus Uropmabin (USTJ), Hengki Hilapok (Uncen), Buchtar Tabuni (United Liberation Movemnet for Papua), Agus Kossay dan Stevanus Itlay dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

“Dua mahasiswa lain akan bebas seminggu lagi, sedangkan aktivis bebas bulan depan,” papar Ferry. 

Apalagi di saat ini, kondisi kesehatan Alexander makin memburuk pasca bebas. Beberapa kali, ia memang mengeluh sakit sejak ditahan Rutan Balikpapan. 

“Alex masih sakit semenjak ditahan hingga sekarang,” ungkap Ferry. 

Di sisi lain, Ferry beranggapan negara sebenarnya paling bertanggung jawab memulangkan mereka.

Lewat kuasa hukumnya, para aktivis sudah meminta agar proses persidangan digelar di Jayapura. 

“Negara harus bertanggung jawab nasib kami di Balikpapan, jangan cuci tangan setelah prosesnya selesai,” tegasnya. 

Ferry dan Alexander harus secepatnya pulang ke Jayapura guna mengurus studi.

Keduanya memang sudah dijadwalkan ikut prosesi wisuda kampusnya masing masing. 

“Kami berdua akan ikut wisuda di kampus masing masing. Tinggal mengurus beberapa ketentuan administrasi belum selesai,” tutur Ferry yang merupakan mahasiswa jurusan administrasi negara. 

Alasan ini pula yang membuat keduanya enggan berkomentar sehubungan kasus makar menjeratnya. Seperti diketahui, pengadilan menjatuhkan vonis 10 – 11 bulan pada tujuh aktivis dan mahasiswa Papua.

Mereka dianggap bersalah kasus makar dan berujung kerusuhan massal Jayapura.  

Sementara itu, perwakilan tim kuasa hukum, Bernard Marbun menambahkan, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Papua menjadi pihak paling bertanggung jawab pemulangan aktivis. 

Selama proses penyidikan, penyidik kejaksaan yang ngotot menggelar sidang di Balikpapan. 

“Saat membawa mereka ke Balikpapan mempergunakan anggaran negara, tentunya untuk memulangkan mereka juga harus bisa kan,” tukasnya. 

Sehubungan itu, Bernard menyebutkan, saat ini tim Jayapura sudah melayangkan tuntutan pada Kejati Papua agar bertanggung jawab.

Lewat kuasa hukum, pihak kejaksaan berdalih terkendala keterbatasan anggaran. 

“Sementara ini mereka mengaku tidak punya uang,” tuturnya. 

Jawaban kejaksaan ini lah yang membuat kuasa hukum dan mahasiswa kecewa. Mereka bertekat terus bertahan di Balikpapan hingga sikap kejaksaan berubah. 

“Kalau mereka tetap ngotot, kami akan terus bertahan di Balikpapan, menunggu tanggung jawab mereka,” tegas Bernard. 

Salah seorang tim kuasa hukum, Fathul Huda Wiyashadi menambahkan alternative lain pun sudah dipertimbangkan demi keberlangsungan aktivis. Mereka tentunya harus melanjutkan aktivitasnya di Papua. 

Fathul mengaku berinisiatif mengumpulkan bantuan para simpatisan dan donator pemulangan klien. Ia optimis mayoritas masyarakat Indonesia masih perduli nasib aktivis Papua. 

“Nanti kita carikan bantuan dari pihak pihak lain, pastinya akan dapat sumbangan,” ujarnya. 

Meskipun begitu, Fathul memastikan pengumpulan bantuan merupakan alternative terakhir.

Seperti halnya dengan yang lain, ia yakin pemulangan aktivis menjadi kewajiban negara. 

“Ini altenatif terakhir saat kejaksaan benar benar cuci tangan,” tegasnya. 

Persoalan bermula protes aktivis dan mahasiswa atas hinaan rasis mahasiswa Papua di Surabaya Jawa Timur (Jatim).

Aksi kian membesar berujung demonstrasi 10 ribu massa di Jayapura.

Namun demo damai berujung rusuh perusakan fasilitas public. Sebanyak 38 orang dituduh melakukan makar dan menimbulkan 40 korban jiwa berikut harta benda masyarakat.

Polda Papua lantas menuduh aktivis ditunggangi KNPB memperjuangkan referendum kemerdekaan Papua Barat. (tim redaksi Diksi) 

 

Tag berita:
Berita terkait
breakingnews