DIKSI.CO, SAMARINDA - Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut Omnnibus Law RUU Cipta Kerja mendukung upaya pemberantasan korupsi, dianggap pernyataan yang menyesatkan publik.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam konferensi pers secara virtual dari Istana Kepresiden Bogor, pada hari jumat 9 Oktober 2020 kemarin. “Undang-Undang Cipta kerja ini akan mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Ini jelas", klaim Presiden Jokowi dalam konferensi pers virtual tersebut .
Tanggapan atas itu pun diberikan salah satu akademisi dari Universitas Mulawarman Samarinda, Herdiansyah Hamzah.
"Jika melihat draft omibus law RUU Cipta Kerja, versi 905 halaman yang beredar di tengah masyarakat (Paripurna 5 Oktober 2020), maka pernyataan Presiden Jokowi tersebut, rasanya sulit untuk tidak mengatakan sebagai pernyataan yang menyesatkan publik," ucapnya.
"Pada Pasal 111 Omnibus Law RUU Cipta Kerja, yang merubah ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, “gratifikasi” tetap dimasukkan sebagai salah satu objek pajak, sebagaimana yang disebutkan secara eksplisit dalam perubahan Pasal 4 ayat (1) huruf a (lihat halaman 486). Apakah Pak Jokowi lupa, jika ketentuan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara tegas mengkualifikasi gratifikasi sebagai pemberian suap," jelasnya kemudian.
Ia lanjutkan, bisa saja Presiden dan DPR beralasan, jika gratifikasi sebagai objek pajak, sudah sejak lama diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan tersebut.
"Tapi ingat, sistem legislasi kita menganut asas hukum, “lex posterior derogat legi priori”, yang berarti aturan hukum yang lebih baru harus mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama. Dengan demikian, harusnya ketentuan mengenai gratifikasi tunduk terhadap ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," ucapnya.
"Selain upaya pembenaran terhadap gratifikasi, Omnibus Law RUU Cipta Kerja juga cenderung melegalkan korupsi, sebab tindakan yang diambil oleh lembaga yang diberikan kewenangan khusus (sui generis) dalam rangka pengelolaan investasi nantinya, tidak dikualifikasikan sebagai kerugian keuangan negara. Upaya melegalkan korupsi ini, dapat kita baca dalam ketentuan Pasal 158 ayat (4) RUU Cipta Kerja, yang menyebutkan bahwa, “keuntungan atau kerugian yang dialami Lembaga dalam melaksanakan investasi, merupakan keuntungan atau kerugian Lembaga” (lihat halaman 566). Jadi kerugian yang muncul akibat tindakan lembaga pengelola investasi, tidak dikualifikasikan sebagai kerugian keuangan negara," katanya.
Bahkan ketentuan tersebut, diperkuat oleh keberadaan Pasal 163 RUU Cipta Kerja, yang menyebutkan jika Menteri Keuangan, pejabat Kementerian Keuangan, dan organ dan pegawai Lembaga, tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum atas kerugian investasi (lihat halaman 567).
"Kendatipun pasal ini menyebutkan frase “jika dapat membuktikan”, namun norma ini tetap saja menimbulkan pertanyaan kritis dari publik, kenapa harus disebutkan secara eksplisit dalam Pasal tersebut? Bukankah tafsir tentang “kerugian keuangan negara”, sudah sangat jelas dan terang disebutkan dalam norma Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? Merekonstruksi ulang dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja, jelas menguatkan motif untuk menghindari jerat korupsi," katanya kemudian.