Minggu, 6 Oktober 2024

Sidang Praperadilan Dua Mahasiswa Ditolak, Hakim Sebut Penetapan Tersangka Telah Memenuhi Unsur

Koresponden:
Muhammad Zulkifly
Jumat, 18 Desember 2020 8:53

FOTO : Sidang praperadilan dua tersangka mahasiswa aksi Omnibus Law di tolak pengadilan/Diksi.co

DIKSI.CO, SAMARINDA - Setelah menjalani serangkaian agenda sidang praperadilan, Hakim Tunggal akhirnya memberikan jawaban atas gugatan dua mahasiswa yang menjadi tersangka dalam aksi kerusuhan menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja, 5 November lalu.

Dalam sidang beragendakan putusan,  Hakim Tunggal membacakan tolakan gugatan praperadilan yang diajukan FR dan WJ dalam sidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda pada Kamis sore (17/12/2020).

Dua mahasiswa ini sebelumnya, telah dilakukan penangkapan, penahanan hingga ditetapkan sebagai tersangka oleh Polresta Samarinda. Terkait dugaan membawa senjata tajam dan penganiayaan pada aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja Omnibus Law berujung ricuh di DPRD Kaltim, pada 5 November lalu.

Atas penangkapan, penahanan hingga penetapan tersangka itu, kedua mahasiswa ini memilih menempuh jalur praperadilan. Namun sayang, Hakim Tunggal yang telah memeriksa dan mengadili, memberikan putusan menolak permohonan praperadilan dari kedua mahasiswa tersebut.

Persidangan Praperadilan keduanya berlangsung secara bersamaan diruangan yang berbeda. Hakim Tunggal Agung Sulistiyono memutuskan atas perkara WJ. Sedangkan Yoes Hartyarso memutuskan perkara atas FR.

Singkatnya, masing-masing Hakim Tunggal dalam amar putusannya, menyampaikan hasil dari pertimbangan kesimpulan fakta persidangan. Kalau penetapan dua tersangka telah sah dan dilakukan menurut prosedur yang berlaku.

FR ditetapkan sebagai tersangka pembawa senjata tajam dengan dikenakan Pasal 2 Ayat 1 UU Darurat nomor 12 tahun 1951. Sedangkan WJ ditetapkan sebagai tersangka, dikenakan Pasal 351 ayat 1 tentang penganiayaan.

"Masih memenuhi ketentuan hukum. Seperti apa yang menjadi syarat dan cara penggunaan penahanan oleh penyidik," ucap Agung Sulistiyono saat membacakan amar putusan atas perkara WJ 

Menurut hakim, para pemohon juga tidak bisa membuktikan adanya anggapan tidak sahnya penangkapan, penahanan hingga penetapan tersangka dalam kasus yang menjerat kedua mahasiswa tersebut. 

Sehingga, Hakim Tunggal menimbang berdasarkan fakta persidangan tersebut. Dengan menyatakan alasan-alasan di dalam sidang Praperadilan yang diajukan kedua pemohon, dinyatakan tidak beralasan dan ditolak.

"Mengadili, menolak permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya," ucap Agung Sulistiyono sembari mengetuk palu.

Dengan demikian, maka perkara kedua mahasiswa tersebut dilanjutkan ke tahap sidang pokok perkara. Dan akan naik status menjadi terdakwa dalam perisidangan yang akan segera digelar dalam waktu dekat ini. Usai Hakim Tunggal menjatuhkan putusannya, nampak raut wajah dari para hadirin didalam persidangan penuh dengan kekecewaan.

Mereka segera meninggalkan ruang sidang dan melakukan aksi unjuk rasa didepan gedung PN Samarinda. Mereka adalah sekelompok mahasiswa rekan dari kedua tersangka. Dalam orasinya, para pengunjuk rasa menuntut agar kedua rekannya itu dibebaskan dari belenggu hukum. Serta menyebut Hakim PN Samarinda tidak berlaku adil dalam memutuskan perkara FR dan WJ.

Terpisah, Indra Kuasa Hukum tersangka WJ mengaku kecewa atas putusan sang Hakim Tunggal. Pasalnya, berkas kesimpulan dalam fakta persidangan yang telah diajukan kepada hakim, menurutnya tidak dijadikan pertimbangan dalam memutuskan perkara ini.

"Tentu kami kecewa, dalam pertimbangan yang kami ajukan, sebagaimana yang tertuang dalam permohonan praperadilan, kami yang sangat berkeyakinan terdapat cacat formil dalam administrasi penangkapan, penahanan dan penetapan tersangka ditolak oleh hakim," ungkapnya saat ditemui usai perisidangan.

Disebutkannya yang menjadi pertimbangan hakim tunggal dalam persidangan praperadilan perkara WJ. Bahwa Hakim menyatakan penetapan tersangka yang dilakukan aparat kepolisian telah memenuhi syarat formil. 

"Hakim mengatakan, bahwa penangkapan dan penahanan klien kami, sudah memenuhi syarat formil, berdasarkan hukum acara pidana," ucapnya.

Kendati demikian ia mengaku sangat menghormati apa yang menjadi keputusan Hakim Tunggal di Persidangan. Kini ia akan berfokus menghadapi sidang pokok perkara. 

"Maka selanjutnya kami akan kawal di persidangan pokok perkara yang akan di PN Samarinda," imbuhnya.

Dalam kesempatan itu, Indra turut menyampaikan bahwa tindakan pelemparan yang dilakukan kliennya, pada kericuhan unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja Omnibus Law di DPRD Kaltim adalah spontanitas.

"Jadi sekali lagi saya katakan, yang dilakukan peserta unjuk rasa penolakan UU Omnibus Law, di Kantor DPRD Kaltim pada 5 November lalu, adalah spontanitas tanpa disengaja," tandasnya.

Sementara itu, Tim Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Bernard Marbun selaku kuasa hukum tersangka FR mengatakan, bahwa Hakim Tunggal tak menjadikan kesimpulan yang telah ia ajukan sebagai alat pertimbangan dalam memutuskan perkara ini. Menurutnya, Hakim Tunggal hanya berpacu dengan hukum acara pidana dan Perkap kepolisian.

"Padahal kita ketahui bersama, bahwa pada saat kejadian 5 November 2020, itu tidak hanya ada kepolisian saja disitu. Ada masyarakat umum disitu. Seharusnya, saksi itu diisi oleh masyarakat umum, kalau memang terjadinya sebuah tangkap tangan," ungkapnya.

Disebutkannya, bahwa dari dua alat bukti Termohon yang dijadikan acuan Hakim Tunggal di dalam persidangan, adalah berkas Laporan Polisi hingga berkas dari keterangan saksi di berita acara pemeriksaan (BAP). Yang notabenenya seluruh keterangan diisi oleh anggota polisi.

"Kenapa tidak dari masyarakat umum. Kalau seperti ini kan sangat rentan tidak objektif dan tidak netral gitu loh," jelasnya.

Dia mencontohkan apa saja hal yang diduga tidak objektif  dari dua alat bukti tersebut. 

"Bisa saja kalau ini anggapan polisi saja yang melihat senjata tajam yang terjatuh dari tubuh Firman. Sementara saat itu banyak orang. Apakah sama sekali tidak ada yang melihat. Seharusnya logika pertimbangan Hakim Tunggal sampai disitu," kesalnya.

"Jadi Hakim hanya melihat dari bukti-bukti surat dari kepolisian. Ya jelaslah, karena yang membuat bukti surat itu ya dari pihak termohon. Kalau kita bisa bikin suratnya, ya kita juga bikin suratnya 'kan begitu. Makanya tidak adil, kalau acuan hanya sebatas surat-surat saja," sambungnya.

Dengan rasa kecewa, Bernard mengaku tengah mempersiapkan diri untuk menghadapi sidang pokok perkara yang akan digelar dalam waktu dekat.

"Jadi tim akan rembuk dulu nanti ini dan kita paparkan ulang isi dari BAP itu. Dari situ kita akan memperkuat dari saksi-saksi yang bisa memperkuat. Untuk membantah keterangan saksi dari kepolisian itu sendiri," pungkasnya. (tim redaksi Diksi) 

 

Tag berita:
Berita terkait
breakingnews