DIKSI.CO, SAMARINDA - Sidang kasus rasuah ditubuh Perusahaan Daerah (Perusda) PT Agro Kaltim Utama (PT AKU) kembali bergulir di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Samarinda pada Senin (11/1/2021) jelang sore kemarin.
Pada sidangan yang dilakukan via daring, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Zaenurofiq dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim menghadirkan dua orang saksi terkait tindak rasuah yang telah dilakukan dua terdakwa mantan pimpinan Perusda PT AKU.
Kedua saksi yang dihadirkan itu adalah Evian Agus Saputra sebagai Tim Evaluasi Kinerja BUMD Pemprov Kaltim dan Encek Muhammad Husni Thamrin sebagai Kasubbag Sarana dan Prasarana Perusda Biro Perekonomian Pemprov Kaltim.
Keduanya dihadirkan karena mengetahui perihal awal mulanya terungkap tindak korupsi yang dilakukan mantan Direktur Utama (Dirut) PT AKU, dan Nuriyanto, mantan Direktur Umum PT AKU, yang telah didakwa menyalahgunakan dana penyertaan modal Pemprov Kaltim.
Dikonfirmasi ulang, JPU Zaenurofiq mengatakan kedua saksi yang dihadirkan dalam persidangan merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ditugaskan untuk masuk dalam Tim Inventaris aset daerah bentukan Gubernur Kaltim. Di awal persidangan, kedua saksi diminta keterangannya terkait temuan dari hasil inventaris aset yang di kelola oleh PT AKU.
"Jadi inti dalam fakta persidangan, saksi ini mengaku telah melakukan inventarisir terhadap aset-aset yang di kelola oleh PT AKU," kata pria yang akrab disapa Rofiq tersebut.
Kedua saksi juga, lanjut Rodi telah melakukan pemeriksaan di lapangan, yakni terkait pengelolaan keuangan. Namun hanya berdasarkan laporan yang dibuat oleh direksi PT AKU, yakni dua terdakwa.
Disebutkan oleh masing-masing saksi, bahwa pada 2014 mereka memperoleh laporan kalau PT AKU telah mendapatkan penyertaan modal sebesar Rp27 miliar dari Pemprov Kaltim tersebut, sudah non beroperasi alias bangkrut.
"Lalu dilakukan lah Audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang kemudian ditemukannnya ketidak wajaran dalam mengelola keuangan negara. Dari hasil temuan BPK dan laporan keuangan PT AKU itu, dua saksi ini lalu ditugaskan untuk melakukan inventarisir aset," terangnya.
Dari pendataan aset yang dilakukan kedua saksi terhadap PT AKU. Mereka menemukan sebanyak 45 item aset milik PT AKU yang kini tidak diketahui keberadaannya. Dari seluruh aset yang terdata, kedua saksi ini hanya mendapatkan aset yang tersisa berupa dua unit mobil. Sedangkan aset lainnya tak dapat dijelaskan oleh kedua terdakwa.
"Kurang lebih ada 45 item aset di PT AKU yang sudah tidak ditemukan lagi," bebernya.
Rofiq mengatakan, 45 aset yang tidak diketahui keberadaannya itu kebanyakan adalah Alat Tulis Kantor (ATK), seperti laptop atau komputer. Itu semua sudah tidak ada lagi.
"Mereka (terdakwa) bilang, ada yang dibawa oleh pengurus yang lama," imbuhnya.
Setelah melakukan Inventaris aset, kedua saksi ini lalu meminta klarifikasi kepada kedua pucuk pimpinan PT AKU, untuk menyampaikan laporan pengelolaan keuangan penyertaan modal Pemprov Kaltim.
Namun kedua terdakwa selalu mangkir dari panggilan Tim Inventaris Aset bentukan Gubernur Kaltim tersebut. Terkait dengan laporan keuangan itu, Tim Inventaris Aset ini lalu meminta klarifikasi dari direksi PT AKU, yang tak lain adalah kedua terdakwa Yanuar dan Nuriyanto. Namun ketika dilakukan pemanggilan, yang bersangkutan tidak pernah datang.
"Mereka meminta kedua terdakwa ini untuk mengklarifikasi terkait tanggung jawabnya dalam pengelolaan keuangan penyertaan modal Pemprov Kaltim. Karena tidak ketemu, akhirnya dua terdakwa ini membuat surat pernyataan di 2019," sambungnya.
Isi dalam surat pernyataan itu, kedua terdakwa meminta agar dapat diberikan waktu untuk menyusun laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan yang dikelola oleh PT AKU selama satu tahun.
"Mereka juga menyatakan, akan mengembalikan uang-uang yang ada di sembilan perusahaan yang bekerjasama dengan PT AKU," kata Rofiq.
Namun berjalannya waktu, laporan pertanggungjawaban itu tidak juga diberikan kedua terdakwa kepada Pemprov Kaltim. Hingga akhirnya menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menduga adanya tindak korupsi yang dilakukan keduanya.
"Dalam surat pernyataan itu juga disebutkan, bila dalam kurun waktu satu tahun mereka (terdakwa) tidak bisa mempertanggungjawabkan, maka mereka siap untuk diproses secara hukum. Surat pernyataan itu juga menjadi barang bukti, dan telah dibeberkan di dalam persidangan," ucapnya.
Dikemukakan oleh kedua saksi, bahwa mereka juga menemukan adanya sembilan perusahaan yang bekerjasama dengan PT AKU. Satu diantaranya adalah PT Dwi Palma Lestari. Diketahui kalau perusahaan ini turut serta mengelola dana penyertaan modal Pemprov Kaltim yang dikucurkan ke PT AKU. Usut punya usut, rupanya PT Dwi Palma Lestari ini merupakan bentukan Yanuar dan Nuriyanto.
"Dari temuan itu, ternyata Direksinya ya dua terdakwa ini. Di situlah terungkap kalau keduanya menyalah gunakan uang negara. Modusnya mereka bertukar posisi jabatan di PT Dwi Palma Citra Lestari untuk mengelola penyertaan modal dari Pemprov Kaltim," katanya.
Di dalam persidangan Rofiq juga mempertanyakan terkait kerjasama yang dilakukan PT AKU dengan PT Dwi Palma Lestari. Terungkap kalau kerjasama itu terjadi tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
"Kemudian saya tanyakan, apakah terdakwa (PT AKU) yang melakukan kerjasama (dengan PT Dwi Palma Lestari) ini diketahui ataupun disetujui oleh dewan pengawas, saksi bilang tidak ada pak. Lalu saya tanya lagi. Apakah hal ini dibenarkan, saksi bilang tidak dibenarkan," ucap Rofiq.
"Karena sesuai peraturan daerah (Perda) dari Prov Kaltim, terkait dengan kerjasama (Perusda) di kegiatan bidang usaha maupun penyertaan modal, itu harus diketahui dan sepengetahuan dewan pengawas. Tapi faktanya tidak, dan ini bisa-bisanya kedua terdakwa saja. Itu lah yang menjadi temuan dari BPK, sehingga ditemukannya sebagai kerugian negara. Karena melakukan kerjasama dengan pihak lain itu tanpa persetujuan ataupun sepengetahuan dewan pengawas," pungkasnya.
Usai mendengarkan kesaksian Encek Muhammad Gusti Tamrin dan Elfi Agus, sidang pun ditutup oleh Majelis Hakim yang diketuai Hongkun Ottoh. Sidang akan kembali dilanjutkan pada Senin (18/1/2021) mendatang.
Diberitakan sebelumnya, Perusda PT AKU yang bergerak di bidang usaha pertanian, perdagangan, perindustrian dan pengangkutan darat, mendapatkan penyertaan modal dari Pemprov Kaltim sebesar Rp 27 miliar pada medio 2003 hingga 2010.
Anggaran itu disetorkan dalam tiga tahap. Pada tahap awal, pemerintah menyetor Rp 5 miliar. Empat tahun kemudian, di 2007 kembali diserahkan Rp 7 miliar. Terakhir pada 2010, pemerintah kembali menyuntik PT AKU sebesar Rp 15 miliar.
Yanuar yang kala itu sebagai pucuk pimpinan Perusda PT AKU, bersama dengan rekannya, Nuriyanto selaku Direktur Umum PT AKU, menyalahgunakan penyertaan modal yang dikucurkan Pemprov Kaltim. Keduanya melakukan praktik korupsi dengan modus investasi bodong.
Dalam aksi keduanya, PT AKU dibuat seolah-olah melakukan kerja sama dengan sembilan perusahaan lain. Namun sembilan perusahaan tersebut adalah fiktif, yang tak lain adalah buatan mereka sendiri.
Investasi bodong yang dimaksud ialah, terdakwa dengan sengaja melakukan kerja sama perjanjian terhadap sembilan perusahaan buatannya tersebut, tanpa persetujuan Badan Pengawas dan tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Anggaran yang didapatkan dari Pemprov Kaltim, diinvestasikan ke sembilan perusahaan. Kemudian mereka gunakan untuk kepentingan pribadi. Sedangkan perusahaan buatan mereka dibuat seolah-olah bangkrut.
Dari sembilan perusahaan yang diajak kerja sama, dalam praktiknya, enam perusahaan diantaranya palsu. Perusahaan fiktif yang mereka buat salah satunya PT Dwi Palma Lestari. Di perusahaan ini, total modal usaha yang mengalir sebanyak Rp 24 miliar.
Terungkap, Nuriyanto tercatat sebagai Direktur PT Dwi Palma Lestari. Sedangkan Yanuar selaku komisaris. Dalam jangka waktu empat tahun, keduanya selalu bergantian menjadi direktur dan komisaris.
Tujuannya agar perusahaan yang mereka dirikan tersebut dianggap memang ada dan masih aktif. Akibatnya, modal usaha itu tidak jelas keberadaannya dan dilaporkan sebagai piutang dengan total modal sekitar Rp 31 miliar.
Cara mark up seperti itu dilakukan agar dana jumlah besar yang dikucurkan Pemprov Kaltim dapat dengan mudah mereka kuasai bersama-sama. PT AKU yang diharapkan Pemprov Kaltim agar dapat memberikan sumbangsih pada pendapatan asli daerah, justru ikut berakhir bangkrut.
Akibat perbuatan terdakwa maupun rekannya itu, Pemprov Kaltim harus menderita kerugian sebesar RP 29 miliar. Kerugian itu sesuai perhitungan dari pihak Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kerugian negara sebesar Rp 29 miliar, dengan perincian penyertaan modal Rp 27 miliar ditambah laba operasional PT AKU yang digunakan kembali dalam kerja sama dengan pihak ketiga, kurang lebih sebesar Rp 2 miliar.
Atas perbuatan kedua terdakwa, JPU menjeratnya dengan pasal 3 Juncto pasal 18 Undang-Undang (UU) nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI nomor 31 tahun 1999 , Juncto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. (tim redaksi Diksi)