DIKSI.CO, SAMARINDA - Akses informasi yang minim beberapa kali dirasakan awak media dalam lakukan tugas jurnalistik di Karang Paci-sebutan kantor DPRD Kaltim.
Akses informasi minim itu, terjadi dalam beberapa contoh. Salah satunya yakni adanya rapat tertutup yang dilakukan anggota dewan seputar pembahasan anggaran untuk APBD murni 2021.
Tak hanya itu, baru-baru ini beberapa kertas juga terlihat ditempel di bagian pintu gedung-gedung di DPRD Kaltim.
Kertas itu bertuliskan tata tertib. Tata tertib itu, mengatur seputar alur kerja jurnalistik dalam peliputan di kantor dewan.
Hal ini terlihat dari redaksi yang tercantum. Misalnya, pada poin pertama, diminta untuk melapor kepada petugas jawa dengan menunjukkan kartu identitas. Selain itu, ada pula redaksi terkait ketentuan jam kerja, yakni pukul 08.00 - 16.00 Wita (menyesuaikan agenda Dewan).
Adanya hal ini pun dikomentari oleh beberapa pihak di Kaltim. Salah satunya Herdiansyah Hamzah, Dosen dari Universitas Mulawarman Samarinda. Ia beri respon akan rapat tertutup yang dilakukan dewan, sehingga secara tak langsung menutup akses informasi kalangan media.
"Rapat-rapat tertutup, apalagi rapat yang berkaitan dengan pembahasan anggaran, jelas adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan baik (good and clean governance). Apalagi rapat tertutup tersebut, tidak memiliki cukup alasan yang bisa diterima oleh nalar publik," ujarnya.
Ia lanjutkan, pembahasan anggaran dalam ruang-ruang tertutup, bermakna mereka memang sedang merencanakan kejahatan.
"Sebab persekongkolan untuk melakukan kejahatan, selalu berawal dari lorong-lorong gelap yang jauh dari jangkauan pengawasan publik. Jika pembahasan anggaran dilakukan melalui rapat-rapat tertutup, itu artinya sedang ada rencana untuk "mengaburkan" fakta, sekaligus "menghilangkan" jejak kejahatan yang dilakukan. Pembahasan tertutup juga pertanda kuatnya politik transaksional, yang mengarah kepada tindak pidana korupsi. Pembahasan tertutup bermakna DPRD sedang merencanakan kejahatan. Diduga berniat merampok anggaran secara sistematis." ucapnya.
Castro, demikian ia disapa juga sampaikan bahwa korupsi itu subur dan berkembang dalam ruang-ruang gelap.
"Logikanya, tidak akan ada suap dan gratifikasi di tengah keramaian yang penuh dengan pantauan publik. Karena alasan inilah kenapa prinsip "ransparansi" dan "keterbukaan" selalu dijadikan anti-tesa untuk melawan korupsi. Sebab hanya dengan keterbukaan dan transparansi inilah, kita bisa meminimalisir tindakan-tindakan korup dari para pejabat dan penyelenggara negara, termasuk DPRD," katanya.
Sebelumnya, komentar juga datang dari Koordinator Pokja 30 Buyung Marajo.
Ia menyebut sebagai anggota legislatif, DPRD Kaltim tidak paham mengenai keterbukaan informasi publik.
"Saya minta DPRD itu membuka UU 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik. Disana mengatakan anggaran yang bersumber dari APBN dan APBD harus terbuka," ujar Buyung sapaan karibnya saat dihubungi awak media melalui telepon whatsapp, Selasa (20/10/2020).
Jika pembahasan dengan sengaja dilakukan secara tertutup dan dengan pengamanan ketat, maka tidak menutup kemungkinan ada indikasi yang mengarah pada mufakat jahat.
"Mufakat jahat itu apa? korupsi, kolusi dan nepotisme terhadap anggaran itu," ucapnya.
Termasuk saat membahas anggaran pokok pikiran atau aspirasi, Buyung menegaskan bahwa indikasi adanya permainan anggaran semakin kuat di lingkungan parlemen Karang Paci.
"Itu bisa saja permainan-permainan terjadi, pokir-pokir kan dititipkan kepada OPD-OPD, bagaimana rakyat mengawal sedangkan mereka tertutup," katanya.
Kejadian ini menjadi kritik besar terhadap wakil rakyat yang dengan sengaja melanggar asas-asas demokrasi.
"Harusnya mereka (DPRD Kaltim) ini dalam waktu dekat harus meminta maaf kepada masyarakat Kaltim atas penghianatan demokrasi yang dipercayakan kepada mereka wakil rakyat," tegasnya.
Hingga berita ditulis, tim redaksi coba lakukan konfirmasi kepada pihak DPRD Kaltim. Namun, komunikasi yang dilakukan belum dapatkan respon. (tim redaksi Diksi)