DIKSI.CO, SAMARINDA - Ditolaknya praperadilan yang menjerat dua tersangka berstatus mahasiswa di persidangan Jumat (18/12/2020) sore kemarin rupanya mendapat kekecewaan oleh pengamat hukum.
Sebab putusan penolakan dan meningkatkan status FR dan WJ sebagai terdakwa dinilai sangat tak adil. Hal itu diungkapkan pengamat hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Orin Gusta Andini. Orin yang juga dihadirkan dalam sidang praperadilan sebagai saksi ahli dari pihak tersangka, mengaku baru mendengar putusan hakim tunggal, yang menolak gugatan dua mahasiswa itu.
“Saya baru tahu, kalau praperadilannya ditolak. Kalau saya tetap pada pendapat kemarin, bahwa itu tidak memenuhi syarat atas penetapan tersangka,” tegasnya saat dikonfirmasi, Sabtu (19/12/2020) sore tadi.
Ia kecewa, lantaran putusan hakim dirasa tidak adil. Menurutnya, dua alat bukti yang dibeberkan pihak termohon, dalam hal ini Polresta Samarinda, tidak sempurna atau belum terpenuhi serta dinilai cacat formil prosedur.
“Karena penetapan tersangka itu kan harus dilengkapi dengan dua alat bukti seperti yang sudah saya jelaskan di persidangan,” ucapnya.
Dijelaskannya, salah satu yang menjadi cacat formil prosedur ialah terkait perolehan alat bukti yang dikumpulkan pihak termohon harus sesuai prosedur dan koridor hukum berlaku. Aparat kepolisian, disebutkanya tidak boleh sewenang-wenang menetapkan tersangka kepada seseorang terlebih dahulu, lalu baru mengumpulkan alat buktinya di kemudian hari.
“Baik dari unsur materiel dan tanggalnya. Tidak boleh lebih dulu penetapan tersangka, dari pada alat buktinya. Jadi harus ada dulu dua alat bukti, baru boleh ditetapkan sebagai tersangka,” jelasnya.
Dari fakta persidangan, Orin menyebutkan, kedua mahasiswa tersebut lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka. Sedangkan polisi baru melengkapi alat buktinya setelah penetapan. Hal itu tertera sangat jelas, dalam pemaparan kepolisian di persidangan.
“Saya mengetahuinya saat dihadirkan sebagai saksi ahli. Secara teoritis, saya membicarakan bagaimana cara yang normatif dan bagaimana yang seharusnya,” ungkapnya.
Lanjut Orin, sidang praperadilan berbeda dengan persidangan pokok perkara. Sehingga, di dalam persidangan ia menjelaskan, penetapan tersangka itu tidak boleh sewenang-wenang dan harus berdasarkan dua alat bukti. Bukan hanya sekedar dua alat bukti. Namun perolehannya juga diharuskan dengan prosedur yang ada.
“Termasuk bukti visum misalnya. Itu bagaimana cara mendapatkannya. Lalu ada alat bukti video misalnya, itu dilihat dulu apakah video itu memang tidak ada rekayasa atau sifatnya autentik atau tidak. Telah menggambarkan secara utuh atau tidak. Nah itu harus dilihat dahulu, jadi tidak sewenang-wenang begitu,” ucapnya.
Dua alat bukti yang digunakan untuk menjerat seseorang harus minimum dan diperoleh dengan cara sah. Ia mencontohkan kategori sah dan tidak sahnya alat bukti. Contohnya, ialah alat bukti video yang dipaparkan pihak termohon di persidangan.
Sesuai dalam Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), alat bukti video yang disertakan penyidik, harus disertai bukti forensik digital. Sehingga harus pula melewati verifikasi. Apabila alat bukti tersebut tidak dibuktikan uji forensik digital, maka bisa dinyatakan alat bukti tersebut tidaklah orisinil.
Kemudian, soal pasal yang digunakan. Tersangka dikenakan pasal 351. Dan menurut Orin, penerapan pasal ini berbentuk bias. Sebab tak ada rincian penganiayaan seperti apa yang telah dilakukan para mahasiswa ini.
"Makanya saya menyebutkannya, pasal hukum yang digunakan itu kabur. Dan juga kekaburan itu dari unsur pasal dan ayat mana yang dikenakan,” ucapnya.
Mengetahui hasil persidangan, Orin mengatakan tetap pada pendapat seperti yang telah disampaikan di dalam persidangan.
“Ya kalau saya, tetap pada pendapat saya. Tapi dari pengadilan negeri sudah memutuskan itu (menolak gugatan), jadi ya harus menghormati putusan hakim ya. Jadi ya memang harus dihormati bersama, walaupun saya sudah menjelaskan bagaimana syarat penahanan, penangkapan, dan penetapan tersangka,” ucapnya.
Sementara itu, cara lain yang bisa ditempuh kedua mahasiswa itu ialah memilih banding pada saat putusan pokok perkara.
“Kalau upaya lain itu kan bisa diambil setelah putusan, misalnya mengajukan banding,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, dua mahasiswa atas nama Firman dan Wisnu, sebelumnya telah dilakukan penangkapan, penahanan, hingga ditetapkan sebagai tersangka oleh Polresta Samarinda. Terkait dugaan membawa senjata tajam (sajam) dan penganiayaan pada aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja yang berujung ricuh di DPRD Kaltim, 5 November lalu.
Atas penangkapan, penahanan, hingga penetapan tersangka itu, kedua mahasiswa ini memilih menempuh jalur praperadilan. Namun, hakim tunggal yang telah memeriksa dan mengadili, memberikan putusan menolak permohonan praperadilan. Kasus keduanya pun dilanjutkan, dan menunggu disidangkan. (tim redaksi Diksi)