"Harusnya pembuat kebijakan mengacu dokumen sejarah sebagai alat ukur keluarnya kebijakan. Tapi nyatanya tidak," ujar mantan Kepala Desa Long Bentuk ini.
Sebagai bentuk kompensasi agar gesekan tidak terus terjadi. Akan tetapi, disebutkan jika perusahaan memaksa warga menerima plasma 80:20 sebagai kompensasi penggusuran tanah adat.
"Jelas kami tidak mau. Karena jika dilihat dari aset kampung seperti kayu dan air itu tidak sebanding dengan tawarannya," imbuhnya.
Sejak invansi alat berat dan hutan sawit yang menggerus tanah adat, dikatakannya pula jika masyarakat kehilangan hasil buruan dan sulit melakukan proses cocok tanam.
Demi memperjuangkan tanah nenek moyang ini, pelbagai upaya telah dilakukan. Mulai dari bersurat kepada Komnas HAM, KLHK dan Ombudsman telah dilakukan.
Tak berhenti di situ, masyarakat bahkan sempat melakukan aksi protes dengan menggelar beberapa kali aksi demonstrasi. Namun hal ini justru berbuntut petaka. Sebab tiga di antaranya dipolisikan dengan dugaan merusak fasilitas umum.
Dengan sederet konflik masyarakat dengan perushaan pasalnya pemerintah coba menengahi. Namun hadirnya pemerintah masih dinilai belum mengedepankan keadilan bagi masyarakat adat.
"Upaya Pemkab Kutim memang ada. Tapi tidak memberikan keputusan yang adil dan hanya mengikuti pola plasma yang kami tolak," tegasnya.