DIKSI.CO, SAMARINDA - Pada Selasa (6/9/2022), warung makan Iga Bakar Sunaryo di Jalan Achmad Yani dibongkar.
Pantauan di lokasi tim dari Satpol PP Samarinda selesai lakukan pembongkaran pada pukul 11.00 Wita.
Sempat viral, apa dasar hukum penutupan Iga Bakar Sunaryo?
Perihal "estetika" sempat mencuat sebelum penutupan Iga Bakar Sunaryo itu
Dari pihak Iga Bakar menganggap bahwa "estetika" saja tidaklah dirasa cukup untuk bisa membongkar tempat usaha yang mereka dirikan sekitar 3 tahun lamanya itu.
Soal pembongkaran ini, dari informasi yang dikumpulkan tim redaksi, ada beberapa hal yang dilanggar Iga Bakar Sunaryo
Yang mana, itu tak hanya soal estetika.
Seperti misalnya, Perda Nomor 34/2004 Tentang Bangunan Dalam Wilayah Kota Samarinda.
Lalu ada Perda Nomor 2/2014 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Samarinda 2014 - 2034.
Poin yang terjabarkan, misalnya bangunan-bangunan atau bagian bangunan dan pekarangan harus dalam keadaan terpelihara dapat tetap digunakan sesuai dengan fungsi dan persyaratan dalam izin yang telah di keluarkan serta tidak mengganggu segi kesehatan dan kebersihan.
Diketahui, bahwa lokasi berjualan Iga Bakar Sunaryo berada di area pelataran ruko.
Selain itu, diketahui pula bahwa Iga Bakar Sunaryo tak memiliki perizinan berusaha, tak membayar PBB, serta tak memiliki izin lingkungan.
Sementara itu, perihal penutupan, dari wawancara bersama awak media saat penutupan terjadi, salah satu pemilik Iga Bakar Sunaryo, Suryani sebut sudah mengetahui agenda penutupan itu.
"Ada pemberitahuan pembongkaran. Upaya kami tetap untuk inginkan audiensi," katanya.
Soal pelanggaran-pelanggaran yang disampaikan pihak Pemkot, Suryani sebut hal tersebut seharusnya diomongkan dari awal.
"Tinggal diomongkan dari awal," ucapnya.
Sebelumnya, akademisi dan pengamat tata ruang kota dari Universitas Mulawarman (Unmul) Warsilan juga tim redaksi mintai pendapat akan hal ini.
Warsilan menjelaskan dari kaca mata tata ruang kota pendirian tenda di sempadan jalan, utamanya di persimpangan lampu merah jelas tidak dibenarkan
“Jalan protokol itu jelas tidak boleh ketika dijadikan tempat berjualan. Dan kalau di lampu merah persis, jelas tidak boleh ada pedagang. Meskipun itu memiliki potensi ekonomi tapi dasarnya itu kita harus tetap kembali pada aturan produk hukumnya. Seperti apa perda tata ruangnya, kemudian kawasan itu dilihat dulu sebagai kawasan apa,” kata Wasilan saat dihubungi Sabtu (27/8/2022) lalu.
Dalam aturan tata ruang kota memuat tentang pengaturan estetika pembangunan yang terus berkembang. Semisal aturan tata kota yang memuat pada fungsional, pemanfaatan kawasan dan nilai estetika atau keindahannya.
“Potensi-potensi (Keindahan, fungsional dan pemanfaatan) itu nantinya bisa terganggu (pedagang di sempadan jalan) dalam urban desain terkait nilai estetikanya,” imbuhnya.
Selain itu, ia menegaskan adanya pelanggaran disisi estetika, fungsional dan pemanfaatannya.
Warsilan juga menambahkan, pedagang dengan tenda besar yang berada di persimpangan juga turut menggangu hak para pengguna jalan.
“Karena dalam aturannya simpangan itu harus terbuka, karena ada hak pengguna jalan. Semisal ada pengendara yang hendak berbelok ke kiri, pandangan itu harus terbuka, harus aman. Tidak boleh dihalangi bangunan atau pagar yang tinggi. Itu sudah ada ketentuannya. Sama halnya orang berjualan di trotoar itu tidak boleh,” katanya. (tim redaksi Diksi)