DIKSI.CO, KUBAR - Bertolak dari kota Tepian menuju wilayah pemekaran Kabupaten Kutai yakni Kabupaten Kutai Barat, dibutuhkan waktu tempuh 8 jam menyusuri jalan lintas daerah berbatu, berlubang dan sebagian sudah mendapat jatah pembangunan infrastruktur jalan.
Dari aplikasi digital google map jarak tempuh mencapai 284,0 km untuk sampai ke desa adat suku Dayak Bahau yang diketahui masih melestarikan budaya leluhur.
Ditempuh dengan perjalanan darat, para pelintas disuguhkan secuil panaroma alam bumi Kalimantan. Sebagian tampak subur makmur dengan hijau pepohanan sebagiannya lagi tampak gersang akibat galian tambang dan lahan sawit milik perusahaan.
Beralih ke tujuan, menelisik lebih dalam budaya Kaltim, Kabupaten Kutai Barat dengan semboyan Tanaa Purai Ngeriman yang artinya Tanah Subur Makmur Melimpah Ruah sejenak mengingatkan manusia arti keseimbangan alam dan seisinya melalui budaya yang hingga kini terus dijaga.
Salah satunya adalah ritual membersihkan dan mensucikan tanah yang disebut Laliq Ugal. Tradisi ini diyakini masyarakat Dayak Bahau bertujuan agar tanaman yang ditanam bisa tumbuh subur sehingga masyarakat dapat senantiasa sejahtera.
Desa Tukul Kecamatan Tering salah satu desa yang masih melaksanakan ritual Laliq Ugal. Tahapan ritual Laliq Ugal ini tak sebentar dilakukan. Sedikitnya 24 rangkaian ritual dilakukan di waktu yang berbeda-beda.
Tim redaksi Diksi.co berkesempatan mengabadikan sebagian rangkaian ritual Laliq Ugal adat Dayak Bahau Desa Tukul.
Menuju Desa Tukul dari pusat kantor pemerintahan Kabupaten Kubar, kendaraan roda 4 yang ditumpangi masih harus menempuh perjalanan lebih kurang 1 jam. Rute jalan tanah di tengah hutan dan berlumpur sempat menimbulkan rasa was-was. Di tengah gelapnya malam tak nampak sedikitpun aktivitas manusia, hanya bising hewan saling bersahutan mengiringi perjalanan.
Sesampainya di Kampung Tukul pada pukul 01.00 wita dini hari. Mata lelah tim pewarta disambut dengan aktifitas pemuda Dayak Bahau tanpa mengenakan baju dengan tatto menghiasi sebagian tubuhnya, pemuda itu sibuk menganyam daun pisang di atas pelataran rumah.
Penampilan pemuda suku Dayak Bahau yang nampak garang itu ternyata tak mengurangi rasa hormat mereka kepada sesama. Pemuda Dayak Bahau bernama Fani dengan ramah menyambut kedatangan orang luar kampungnya.
Kehangatan di tengah malam yang dingin pun tercipta. Suguhan kopi hitam panas dan makanan khas bernama Pitoh mengawali rangkaian cerita.
Sambil bercengkrama, Fani yang diketahui masih memiliki darah keturunan dari kakeknya yakni ketua adat Desa Tukul menjelaskan satu persatu keunikan kampung kelahirannya.
Mulai dari makanan khas bernama Pitoh, makanan terbuat dari ketan yang dibungkus daun dalam bahasa Dayak Bahau disebut Hamet (pembungkus) sampai dengan anyaman daun pisang yang ia rajut sendiri menjadi pakaian.
Rasa bangga Fani akan warisan leluhur terlihat jelas saat ia menjelaskan pembuatan pakaian tari Hudoq khas suku Dayak. Pakaian ini nantinya akan ia kenakan saat menari pada puncak ritual Laliq Ugal.
Sambil menikmati santap malam, di sudut lain, lelaki berusia setengah abat bernama Avun yang duduk bersama-sama dengan kami membuka cerita lain. Pak Avun sosok yang dihormati oleh masyarakat. Di era modernisasi seperti sekarang ini Pak Avun mengemban tanggungjawab sebagai Sekretaris adat.
Singkat kisah, Pak Avun mengajak untuk menyaksikan sebagian ritual Laliq Ugal yang akan dilangsungkan larut malam hingga pagi hari. Ritual ini disebut "Yang Alam"
"Yang Alam" adalah ritual memanggil roh gunung untuk membasmi atau membersihkan segala marabahaya yang mengancam hasil panen.
Uniknya, ritual ini dilakukan oleh perempuan dan laki-laki usia lanjut. Semalam suntuk mereka melantunkan nyanyian dengan bahasa Dayak Bahau. Meski tak mengerti apa yang dilantunkan, riuh lantunan nyanyian bak teror yang bersarang di gendang telinga. Menciptakan suasana magis yang sangat kental disekitar rumah.
Benar saja, dari kisah Pak Avun lantunan itu menceritakan sejarah perjalanan roh gunung yang sengaja dipanggil. Dalam keyakinan mereka, roh leluhur berada di Lapu Ayaq, yang terletak di Hulu Mahakam.
“Jadi kalau dalam ritual ini ada sejarahnya, dari gunung tempat tinggal mereka disana, mereka turun kesini ketika kita panggil, semacam rumah roh leluhur,” ujar Avun mengisahkan maksud ritual "Yang Alam".
Sebagai masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan alam melalui bercocok tanam. Keberhasilan proses sakral Laliq Ugal dipercaya menentukan tumbuh suburnya tanaman mereka. Secara turun temurun, Laliq Ugal digelar sekali dalam setahun. Saat masa tanam tiba.
Sebelum mengadakan ritual "Yang Alam", jauh hari sebelumnya, ada cara khusus yang dilakukan tetuah ada untuk menentukan kapan waktu memulai ritual Laliq Ugal.
Proses menentukan hari dilakukan dengan cara memperhatikan matahari. Cara ini seakan memberi tanda majunya peradaban manusia. Proses ini disebut Nukal.
“Kalau dalam Islam itu dikenal dengan hilal, dalam tahapan Nukal, artinya Laliq Ugal dimulai. Jadi itu awal mula perencanaan untuk Laliq Ugal," runut Avun menjelaskan.
Proses selanjutnya adalah melaksanakan Alakkup Murip yakni proses persiapan peralatan ritual Numbaq yang artinya menombak-nombak tanah di depan rumah yang ada di desa untuk mengusir roh jahat.
Ritual Numbaq ini merupakan ritual sakral yang didengar saja membuat bulu kuduk merinding. Sebab, saat ritual Numbaq dilakukan tak seorang pun boleh melihat, bahkan pemilik rumah sekalipun.
“Jadi kita buat Laliq Ugal itu harus bersih, kita mengusir roh-roh jahat,” kata Avun sambil menghisap sebatang rokok yang ia bakar.
Alasan tidak boleh dilihatnya proses ritual Numbaq, menurut kisah para orang tua suku Dayak Bahau roh-roh jahat memiliki wujud wajah yang tidak nyaman dipandang mata.
Roh itu bisa saja sekali waktu merasuki tubuh manusia. Bahkan, diyakini jika yang melihat anak-anak akan berdampak sakit.
"Jangan sampai yang mereka lihat itu bukan wujud manusia tetapi roh-roh itu. Dilarang bukan ada sanksinya, tetapi ketika anak-anak ini mereka melihat wujud yang lain dari kita (manusia), itu mereka bisa jatuh sakit, semacam keteguran, makanya anak kecil tidak boleh sama sekali, bahkan rata-rata ketakutan saat melaksanakan itu,” ujar Pak Avun menjelaskan sambil menyeruput kopi hitam miliknya.
Ritual lainnya adalah ritual Nawah. Pada zaman dulu ritual ini dilakukan subuh hari dengan menyalakan api unggun. Api tersebut mengandung makna membakar semangat agar padi dapat tumbuh subur.
Tak terasa, bak mendengar dongeng cerita rakyat, tubuh yang lelah mulai mengalah. Katup mata yang lelah ingin sekali tertutup. Sementara riuh lantunan doa-doa menambah kesan magis suasana malam menjelang pagi itu. Pak Avun pun menyudahi ceritanya.
Bangun dari tidur singkat, saat arloji digital menunjukkan pukul 10.18 wita dan matahari pun mulai memberi rasa panas di kulit, saat itu pula warga Desa Tukul nampak sibuk mempersiapkan puncak ritual Laliq Ugal. Di salah satu rumah adat, berkumpul para lelaki dari yang tua, muda hingga anak-anak.
Di belakang rumah, para wanita sibuk memasak. Aneka hidangan disiapkan. Menu babi rica, ayam, bumbu, mihun, dan makanan khas lainnya dimasak dalam jumlah banyak.
Wajar saja, setelah melaksanakan ritual selanjutnya yakni ritual Tabeq Rau, seluruh warga akan berpesta menyantap hidangan yang telah disajikan.
"Nanti kita makan-makan bersama disini, bebas mau makan apa aja," celetuk juru masak wanita berambut pirang yang tidak sempat menyebutkan namanya.
Di depan rumah, para lelaki dan anak-anak nampak gagah mengenakan pakaian adat lengkap dengan Mandau senjata khas Kalimantan yang diikat dipinggang. Sebagian lagi membawa alat musik gong yang digantungkan di leher menggunakan kain.
Saat waktunya tiba, proses ritual Tabeq Rau dilangsungkan. Gong ditabuh, pemimpin rombongan turun dari rumah adat sambil berteriak dengan nada melengking saling bersahutan.
"Warga akan jalan sampai ujung kampung jaraknya 3 km. Nanti lewati rumah-rumah warga. Warga yang menunggu di depan rumah akan masuk mengisi barisan," kata Fani pemuda Dayak yang semalam menyambut kami.
Benar saja, dari kejauhan terlihat di setiap rumah ada beberapa warga menunggu barisan kelompok melintasi rumah mereka. Bila dilihat lebih dekat, tampak para wanita Dayak Bahau serius mempercantik diri dengan bersolek dan memakai baju adat mereka. Para lelaki tak mau kalah, mengenakan baju adat dengan Mandau terpasang di pinggul mereka.
"Kalau rombongan ini lewat jangan ada yang menghalangi di depannya. Tidak boleh, nanti bisa kena sanksi adat," ujar Fani lagi sambil mengingatkan.
Suasana magis semalam tak terasa lagi. Yang ada hanya suka cita perayaan yang nampak dari wajah-wajah warga Desa Tukul.
"Nanti mereka kembali lagi ke rumah adat setelah balik dari arah berlawanan. Semua akan makan bersama di rumah saya," kata Fani lagi.
Setelah sampai ke titik awal kepergia yakni rumah adat. Barisan warga yang cukup panjang itu masuk ke dalam rumah sambil menari dan berteriak lagi saling bersahutan. Seperti ingin melakukan peperangan, tapi tidak sepertinya itu cara mereka menyambut keberhasilan bersama.
Warga pun berpesta menikmati hidangan yang telah disediakan di atas meja di depan rumah. Sementara seluruh warga menikmati hidangan, para penari pria bersiap-siap mengenakan pakaian Hudoq yang semalam mereka buat.
"Setelah ini kami ke Lamin (tempat kumpul warga) dan langsung menari Hudoq sebagai tanda telah memasuki puncak Laliq Ugal," ucap Fani sambil bergegas mengenakan pakaian Hudoq bersama penari lainnya.
Usai makan, warga langsung bergegas menuju Lamin yang berada tidak jauh dari situ. Alat musik gong kembali disiapkan. Setelah semua berkumpul gong kembali ditabuh dan penari Hudoq mulai menunjukkan kemampuan menari dengan kostum Hudoq yang beratnya mencapai 5 kg.
Riuh tercipta, proses ini bisa berlangsung hingga 2 jam. Warga bersama penari Hudoq membentuk lingkaran sambil menari dan berteriak mengelilingi Lamin.
Indah. Takjub. Bangga. Mungkin itu sebagian ungkapan saat mendapat kesempatan menyaksikan kekayaan budaya di Kalimantan Timur.
Momen-momen ini pun kami abadikan menggunakan kamera handphone dan kamera canggih lain yang kami bawa. Semoga masih ada kesempatan menyaksikan rangkaian ritual Laliq Ugal masyarakat suku Dayak Bahau yang dilangsungkan di desa-desa lain.
Ditulis Jurnalis Diksi.co, Achmad Tirta Wahyuda
Desa Tukul, Kutai Barat, Kalimantan Timur, Minggu 15 November 2020. (tim redaksi Diksi)