Jumat, 20 September 2024

Kasus Rasuah di Kutim Makin Terungkap, Kode "Sekebat Obama" Digunakan Ismunandar untuk Permintaan Cari Uang

Koresponden:
Muhammad Zulkifly
Rabu, 7 Oktober 2020 6:57

FOTO : Suasana persidangan dua terdakwa rekanan Pemkab Kutim terungkap fakta kalau uang yang diminta Ismunandar hendka digunakan melenggang dalam kontestasi Pilkada 2020/Diksi.co

DIKSI.CO, SAMARINDA - Usai mengalami penandaan akibat keterbatasan waktu, akhirnya jadwal persidangan kedua terdakwa rekanan swasta lingkup Pemkab Kutim, yakni Aditya Maharani dan Deki Aryanto kembali dilanjutkan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Samarinda, pada Selasa (6/10/2020) dari sore hingga malam tadi. 

Kedua terdakwa diketahui telah memberikan uang hingga belasan miliar rupiah kepada Ismunandar, mantan Bupati Kutim agar dapat mengerjakan sejumlah proyek pembangunan infrastruktur. Bersama dengan Ismunandar dan empat pejabat tinggi Kutim lainnya, saat ini kedua terdakwa juga menjalani masa penahanan di Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta. Sehingga, persidangan kemarin dilakukan dengan via daring.

Dibukanya persidangan yang dipimpin oleh Agung Sulistiyono, didampingi hakim anggota Joni Kondolele dan Ukar Priyambodo, Majelis Hakim langsung mencecar Ismunandar mantan orang nomor satu di Kabupaten Kutim ini dengan sejumlah pertanyaan. 

Sebab ini terkait kesaksian Musyafa didalam fakta persidangan sebelumnya. Di mana dia menyebutkan, telah ditugaskan dengan Ismunandar, untuk mencarikan sumber uang dari para rekanan swasta. Uang tersebut nantinya akan digunakan Ismunandar untuk modal biaya di Pilkada.

Di awal persidangan, ismunandar dimintai keterangan terkait temuan sejumlah uang, yang terdapat di dalam rekening milik Musyafa. Uang itu menjadi barang bukti oleh KPK ketika melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 2 Juli lalu.

Kepada majelis hakim, Ismunandar menjelaskan bahwa barang bukti tersebut, ialah uang yang berasal dari pemberian para rekanan swasta. Uang itu nantinya digunakan untuk kebutuhan operasional, serta bekal apabila dimintai mahar oleh partai politik. Dari sini lah awal mula terungkapnya praktik tindak gratifikasi yang dilakukan oleh Ismunandar

Untuk melanggengkan kekuasaannya, Ismunandar kala itu bertolak ke Jakarta dan saat itu ialah untuk menemui seseorang dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Politik. Kedatangannya jelas bertujuan untuk mendapatkan dukungan maju di kontestasi Pilkada 2020.

Agar bisa mendapatkan Surat Keputusan (SK) partai politik, dirinya akan menyerahkan sejumlah uang yang dikumpulkan dari para rekanan swasta. Bisa dibilang uang itu ialah mahar untuk partai politik. Ismunandar pun menerangkan, diperkirakan sekali memberikan mahar, dapat menghabiskan biaya hingga Rp 2-3 miliar. 

"Saya tidak tahu juga, yang mau saya temui itu meminta mahar atau tidak. Tapi saya harus mempersiapkan dulu sebelumnya," ucap Ismunandar dalam persidangan.

Ismunandar yang dihadirkan didalam persidangan pun bak sebagai pesakitan. Seperti sedang menggantikan posisi kedua terdakwa. Sesekali Ismunandar yang dicecar pertanyaan, memberikan keterangan yang berkelit. 

"Tolong pak jangan banyak berkelit, bicara saja sesuai yang ada di BAP. Memang anda sekarang itu saksi, tapi anda tidak lama lagi jadi terdakwa dengan berkas yang terpisah," ucap salah satu majelis hakim.

Ismunandar kemudian melanjutkan Keterangannya. Ia mengaku mengetahui  uang yang ada didalam rekening milik Musyafa hasil setoran rekanan swasta sesuai perintahnya. Uang didalam rekening itu disebutkan berasal dari Aditya Maharani. 

Majelis hakim, kembali melemparkan pertanyaan kepada Ismunandar. Kali ini terkait uang Rp5 milliar, yang diberikan oleh Aditya Maharani. 

"Uang yang itu, saya gunakan untuk membayar utang kampanye Pilkada 2015 lalu," ucapnya.

Uang yang diberikan oleh Aditya Maharani, kala itu ditransfer sebanyak tiga kali. Dengan rincian Rp1 miliar dikirim pada medio November 2019. Selang beberapa hari kemudian, uang kembali ditransfer sebesar Rp1,5 millar. Terakhir, Aditya Maharani, kembali mentransfer Ismunandar sebesar Rp2 Milar pada medio Desember 2019. 

Ismunandar turut membenarkan, sejumlah uang pemberian dari rekanan swasta digunakan untuk modal biaya menghadapi Pilkada. Misalnya, Ismunandar diketahui membeli mobil minibus, dengan jenis Isuzu ELF Micro Deluxe seharga Rp245 juta. Tepatnya pada medio bulan Juni 2020 lalu. 

"Mobil itu, dibeli atas nama istri saya. Yang lebih tahu terkait itu istri saya. Mobilnya rencana saya gunakan sebagai operasional di Pilkada," kata Ismunandar.

Untuk pembelian mobil minibus tersebut, dirinya memerintahkan Musyafa untuk mencari uang pembayaran. Yang didapatkan dari para rekanan swasta.

"Dia (Musyafa) memberitahukan kepada saya, mobil itu sudah dibayar. Tapi saya tidak mengerti skema pembayarannya seperti apa," sebutnya.

Ismunandar juga mengakui, perihal menerima uang sebesar Rp650 juta yang diberikan oleh Kepala BPKAD Pemkab Kutim Suriansyah alias Anto. Yang diberikan pada medio Juni 2020. Uang tersebut, bersumber dari Aditya Maharani yang turut dipergunakan dalam persiapan kampanye Pilkada.

Selain uang Rp650 juta, diketahui Aditya Maharani turut memberikan uang THR sebesar Rp100 juta. Uang tersebut diberikan melalui ajudannya, dalam bentuk cash yang dibungkus kantong plastik hitam.

Dengan demikian, uang yang diterima Ismunandar dari Aditya Maharani, bila diakumulasikan dari medio 2019 hingga 2020, totalnya sebanyak Rp5,25 millar.

Sejumlah uang yang telah diberikan ke Ismunandar, tentunya agar Aditya Maharani bisa mendapatkan proyek pengerjaan dari Pemkab Kutim. Alhasil, Aditya Maharani pun mendapatkan enam paket proyek dari Dinas PUPR Kutim, dengan nilai Rp15 milliar.

Tak hanya dari Aditya Maharani, uang dengan jumlah besar turut mengalir pada Ismunandar yang berasal dari terdakwa Deki Arianto. Bukan hanya uang, namun juga dalam bentuk barang.

Dirincikan dalam persidangan, tepatnya pada 21 Maret 2020, istri Ismunandar yakni Encek UR Firgasih, yang juga menjabat sebagai Ketua DPRD Kutim, meminta kepada terdakwa Deki untuk dibelikan sebuah unit kendaraan bermotor jenis CFR-150 seharga Rp35 juta.

Selanjutnya, pada 6 Mei 2020, Encek kembali meminta kepada Deki, untuk dibelikan satu unit motor jenis Honda. Selang beberapa hari kemudian, tepatnya pada 15 Mei 2020. Encek lagi-lagi meminta sejumlah uang dengan besaran Rp60 juta. Uang itu digunakan untuk membeli satu unit mobil merek Daihatsu seharga Rp180 juta.

"Jadi, terdakwa (Deki) selalu menawarkan kepada saya, kalau memerlukan bantuan, dia siap membantu apa pun itu," kata Ismunandar.

Adapun timbal balik yang didapatkan dari terdakwa Deki, yakni mendapatkan  pengerjaan proyek di Dinas pendidikan sebesar Rp45 milliar.

Sementara itu, terungkap pula didalam persidangan, ada sebuah istilah yang kerap digunakan Ismunandar ketika hendak meminta uang dari Musyafa dan Suriansyah. 

"Tolong saksi jelaskan apa itu 'Sekebat Obama'," ucap JPU KPK saat melemparkan pertanyaan kepada Ismunandar.

Kepada JPU, Ismunandar menjelaskan arti dari kata 'Sekebat Obama' itu. Ialah sebuah istilah agar kedua bawahannya tersebut dapat mencarikan uang dari para rekanan swasta. Uang yang didapatkan, kemudian dikonversikan menjadi mata uang US Dollar.

Istilah ini muncul pada 21 Juni 2020. Kala itu Ismunandar menghubungi Suriansyah menggunakan ponsel milik Musyafa. Didalam perbincangan itu, ia meminta uang sebesar 10.000 USD kepada Suriansyah, untuk keperluan kampanye Pilkada.

"Memang saya ada meminta 'Sekebat Obama' kepada saudara Anto, maksud dari Sekebat Obama adalah uang 10.000 USD, kalau dirupiahkan itu Rp 100 juta," jelasnya.

"Saya bilang, sudah adakah 'Sekebat Obama'. Kalau ada mau saya gunakan untuk biaya operasional kegiatan di lapangan," sambungnya.

Skebat Obama ini kemudian diserahkan Suriansyah kepada Ismunandar, saat bersama-sama menghadiri rangkaian acara pertemuan dengan sejumlah pejabat tinggi Pemkab Kutim, di Hotel Mesra, Samarinda.

"Sebelumnya saya memang minta dalam bentuk mata uang Dollar, tapi tidak ada. Jadi diberikan hanya dalam bentuk rupiah. Uang itu bersumber dari rekanan, tetapi tidak tahu detailnya bagaimana yang lebih tau si Anto (Suriansyah)," katanya.

JPU turut meminta Ismunandar untuk memberikan keterangan terkait adanya pertemuan antara dirinya dengan Aditya Maharani. Kala itu, terdakwa Aditya Maharani meminta kepada Ismunandar agar proyek yang dikerjakan, tidak terpangkas didalam alokasi anggaran penanganan Covid-19.

Permintaan itupun dituruti, dengan langsung memerintahkan Musyafa agar segera menyusun daftar proyek yang dikerjakan Aditya Maharani. Agar nantinya proyek tersebut tetap mendapat pencairan tanpa terpangkas anggarannya.

"Saya memang ada sebut, agar proyek ini jangan diganggu. Saya menugaskan Musyafa untuk mengamankan (proyek), agar nantinya tidak terkena imbas pemangkasan dana (Covid-19). Tapi ya tetap terkena relokasi anggaran juga," tutup Ismunandar.

Usai mendapatkan keterangan Ismunandar. Majelis hakim selanjutnya menghadirkan Suriansyah alias Anto selaku Kepala BPKAD Pemkab Kutim. JPU meminta kepada Suriansyah meminta agar menyampaikan perannya yang turut ditugaskan Ismunandar, mengumpulkan uang dari para rekanan swasta.

"Apakah ada permintaan khusus dari pak Ismunandar, untuk mengumpulkan sejumlah uang yang digunakan untuk memenuhi keperluannya?," ucap salah satu JPU.

"Iya memang sering minta ke saya. Sejak saya menjabat Kepala BPKAD pada 2017 lalu, bapak (Ismunandar) selalu meminta saya untuk kebutuhannya. Saya biasanya meminta bantuan dari para kontraktor (rekanan)," jawabnya.

Suriansyah selanjutnya menjelaskan, perihal pemberian uang Rp1 miliar kepada Ismunandar, yang berasal dari Deki Arianto. 

"Uangnya digunakan untuk kebutuhan pak Ismu. Ya ada juga saya makan sedikit-sedikit," ucapnya.

Suriansyah berperan serupa dengan apa yang dilakukan Musyafa. Dari hasil meminta sejumlah uang para rekanan swasta. Ia kemudian akan memberikan bantuan berupa penitipan pengerjaan sejumlah proyek PL di setiap SKPD.

"Yang menentukan kedua terdakwa mendapatkan proyek memang saya. Alasannya meminta sama saya, karena mereka taunya Kepala BPKAD. Dan orang dekat Bupati," jelasnya.

Suriansyah juga mengaku telah menerima uang dari terdakwa Aditya Maharani sebanyak Rp30 juta. Guna mempercepat diterbitkan pencarian Surat Penyediaan Dana (SPD).

"Saya terima satu kali (Rp 30 juta), sebelum SPD diterbitkan. Ada juga beberapa rekanan lain, ada juga yang tidak memberi," pungkasnya.

Sidang yang berlangsung hingga tujuh jam lamanya ini pun ditutup oleh majelis hakim. Dan akan kembali diberlangsungkan pada Senin (12/9/2020) mendatang. 

"Baik bila Keterangan yang disampaikan dirasa cukup, maka sidang saya tutup dan dilanjutkan pada pekan depan. Masih dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi. Dengan ini sidang kami tutup," tutup Agung Sulistiyono.

Seperti diketahui, Aditya Maharani dan Deki Aryanto didakwa telah memberikan suap demi memuluskan pengerjaan sejumlah proyek bernilai puluhan miliar. Uang sogokan belasan miliar yang diberikan oleh kedua terdakwa itu, mengalir ke sejumlah pejabat tinggi di Pemkab Kutim. 

Aditya Maharani, Direktur PT Turangga Triditya Perkasa serta Deki Aryanto, Direktur CV Nulaza Karya‎, didakwa JPU KPK lantaran terbukti melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor jo Pasal 65 KUHP. 

Dengan dakwaan kedua, Deki maupun Maharani didakwa melanggar pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor jo Pasal 65 KUHP. Deki didakwa menyogok Ismunandar dan Encek, melalui Musyafa serta Anto dengan total uang Rp 8 miliar. (tim redaksi Diksi) 

 

Tag berita:
Berita terkait
breakingnews