DIKSI.CO - Perihal fatwa Mahkamah Agung (MA) ikut jadi perdebatan, sebab menjadi dasar pelantikan Ketua DPRD Kaltim Hasanuddin Masud.
Dikutip dari hukumonline.com, fatwa Mahkamah Agung (“MA”) berisi pendapat hukum MA yang diberikan atas permintaan lembaga negara.
Demikian yang dijelaskan oleh Muhammad Yasin, S.H., M.H. dalam artikel Kekuatan Hukum Produk-produk Hukum MA (Perma, SEMA, Fatwa, SK KMA).
Dasar hukum Fatwa MA ini adalah sebagaimana disebut dalam Pasal 79 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU 14/1985”):
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini.
Bagir Manan (yang saat itu menjabat sebagai Ketua MA) menjelaskan bahwa Fatwa MA diputuskan bersama sejumlah hakim agung yang dipimpin Ketua MA langsung.
Bagir menuturkan bahwa fatwa MA tidak mengikat dan tidak mempunyai mekanisme apa-apa agar dilaksanakan oleh pihak-pihak yang "berperkara".
Fatwa MA bukan putusan pengadilan, sebab itu kekuatan hukumnya bersifat etik semata-mata.
Diketahui, Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Kaltim, Nyoman Gede Wirya yang nantinya akan berperan sebagai pengambil sumpah Ketua DPRD Kaltim yang baru, menyampaikan dirinya diminta oleh Mahkamah Agung untuk melakukan pelantikan itu.
"Ada fatwa dari MA (Mahkamah Agung) bahwa saya tetap diminta melakukan pelantikan ketua DPRD Kaltim," ucap Nyoman saat dijumpai media ini di ruang kerjanya, Kamis (8/9/2022).
Lanjut dijelaskannya, pelantikan Ketua DPRD Kaltim yang baru itu berdasarkan rekomendasi yang telah dikeluarkan Mahkamah Agung.
"Saya awalnya mau melakukan konsultasi (ke MA) karena ada putusan hukum (PN Samarinda mengambulkan gugatan Makmur HAPK), tapi pihak yang bersangkutan (DPP Golkar) yang memiliki kepentingan langsung melakukan konsultasi dan akhirnya keputusannya di WA Kahumas MA untuk segera melantik Ketua DPRD Kaltim," bebernya.
Dari penjelasan Kepala PT itu, tim redaksi kemudian konsultasikan ke beberapa akademisi bidang hukum.
Universitas Mulawarman menjadi salah satu sumbernya.
Najidah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, menekankan pada dasar fatwa yang digunakan oleh PT untuk melantik Hasanuddin Masud.
"Fatwa itu kan diberikan tanggal berapa? Juni. Itu sebelum ada putusan (PN Samarinda). Fatwa itu kan pendapat hukum. Tidak harus tunduk, dia tidak mengikat. Posisinya fatwa itu posisi hukumnya berbeda. Ini sudah diputuskan, perbuatan melawan hukum. Masa mau melantik yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum. Logikanya kan di situ"" ujarnya.
"Kalau saya, satu, kebijakan itu ada dasar hukum. Fatwa itu adalah pendapat hukum. Perintahnya Undang-Undang itu sudah jelas, pemerintah harus tunduk pada keputusan hukum, bukan fatwa hukum. Tidak ada Undang-Undang memerintahkan orang Indonesia tunduk pada fatwa. Tunduknya pada putusan peradilan," katanya.
Najidah juga menjelaskan bahwa tidak benar jika telah ada putusan pengadilan, tetapi masih merujuk pada fatwa untuk melakukan sesuatu. Itu seperti sunah diikuti, tetapi yang fardu malah ditinggal.
"Tidak benar dong," katanya.
"Kan sudah diputuskan itu perbuatan melawan hukum, masa tidak dijadikan pertimbangan? Saya harus ngomong, hal yang aneh ketika orang menimbang, fatwa diperhatikan, putusan pengadilan tidak," ujarnya.
"Kedua, posisi fatwa surat MA saat itu saat belum diputuskan, sekarang kan sudah diputuskan (PN Samarinda). Kondisi hukumnya itu jauh berbeda. Pertimbangan hari ni, apakah bisa dikatakan logis, ketika perbuatan melawan hukum itu dilantik atas dasar perbuatan melawan hukum?," jelasnya. (redaksi)