DIKSI.CO, SAMARINDA - Puluhan tahun bekerja sebagai pembuat perahu tentu merupakan pengalaman hidup yang tidak mudah untuk dijalani.
Belum lagi harus bertahan di tengah kerasnya perkembangan zaman, teknologi modern pembuatan kapal seakan-akan menjadi momok bagi para pembuat perahu tradisional.
Seperti salah salah seorang warga yang bermukim di Desa Sungai Mariam, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kukar.
Penduduk sekitar telah mengenal dia dengan nama Rustam, si pembuat perahu gubang. Sejak 40 tahun lalu, ia memulai usaha pembuatan perahu tradisional di belakang rumahnya yang tepat berada di pinggiran Sungai Mahakam.
Selama puluhan tahun itu pula, ia bekerja membuat perahu gubang hanya berlindung di balik terpal sebagai pelindung diri dari sengatan sinar matahari dan air hujan.
Kulit tangannya pun tampak keras, lantaran terus-menerus memegang palu dan gergaji. Usaha ini diakui Rustam telah ia rintis sejak dirinya menikah dengan sang istri.
“Sebelum bikin perahu, saya bekerja sebagai kuli bangunan, ngikut sama orangtua. Pas saya menikah baru saya pindah ke sini dan bikin perahu,” ujar Rustam kepada Diksi.co, Minggu (17/5/2020).
Rustam yang ditemani oleh sang istri, telah membagi tugas dalam membuat perahu. Rustam bertugas membuat perahu hingga selesai, sedangkan sang istri bertugas mengecat perahu agar lebih menarik saat dilihat.
“Kita bagi dua, saya yang buat perahu, menghaluskannya, setelah itu, kalau sudah jadi tinggal istri yang mengecat perahunya,” jelasnya.
Ia juga mengatakan untuk jenis kayu yang digunakan merupakan jenis Meranti. Selain harganya yang cukup terjangkau, kayu tersebut juga sangat awet.
“Saya pakai jenis kayu Meranti untuk membuat perahu tradisional, kayunya itu saya pesan dari Muara Muntai,” ungkapnya.
Dalam proses pembuatan perahu tradisional, Rustam tetap menjaga kualitasnya. Hal ini ia lakukan agar para pelanggan tidak kecewa saat menggunakan perahu buatannya.
“Agar perahu itu bagus kayunya terlebih dahulu saya jemur, setelah itu tinggal perawatannya aja yang harus dijaga. Seperti dua bulan sekali perahu harus dicat ulang,” terangnya.
Perahu gubang buatan Rustam dan sang istri pun dibanderol dengan harga yang bervariasi, mulai dari yang paling murah hingga yang paling mahal.
Ia mematok harga paling murah Rp 1.850.000 sampai yang paling mahal Rp 6.000.000, tergantung dari panjangnya pendeknya perahu yang dipesan.
“Untuk harga saya mematok dari panjangnya perahu, kalau yang panjangnya 4 meter saya kasih Rp 2.000.000 atau bisa kurang dikit jadi Rp 1.850.000, terus yang 6 meter Rp 2.500.000 dan yang 8 meter Rp 6.000.000,” urainya.
Perahu-perahu yang dibuat Rustam tidak hanya dibeli oleh warga sekitar, namun ada juga yang memesannya dari luar daerah atau kota.
“Kemarin kita ada ngirim sekitar tujuh perahu ke Kota Bontang untuk petani rumput laut, macam-macam orangnya yang pesan,” ungkapnya.
Yang menarik dari teknik pemasaran perahu-perahu buatannya ini, yaitu Rustam tidak sama sekali menggunakan media sosial dalam memasarkan usahanya tersebut. ia hanya mengandalkan pemasaran perahu-perahunya dari mulut ke mulut.
“Tahunya mereka kita buat perahu dari orang-orang yang sering lewat sungai ini dan melihat kita membuat perahu. Dan saya sama sekali tidak menggunakan sosial media dalam usaha saya,” ungkapnya.
Namun di saat pandemi Covid-19 terjadi, usahanya pun terkena imbas. Pesanan perahu pun menjadi menurun. Saat ini ia terpaksa harus bercocok tanam untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari bersama keluarga.
“Karena corona ini jadinya sepi, jadi saya pergi ke sawah untuk menanam padi di seberang sana. Sayapun berharap dengan adanya bantuan, tetapi saya juga harus berusaha,” pungkasnya.
Rustam pun berharap semoga di pandemi Covid-19 segera berlalu, dan kembali lagi seperti hari-hari sebelumnya serta banyaknya orang-orang yang kembali memesan perahu buatannya. (tim redaksi Diksi)