DIKSI.CO, SAMARINDA - Perkara rasuah Perusahaan Daerah (Perusda) PT Mahakam Gerbang Raja Migas (MGRM) yang menyeret nama Iwan Ratman selaku Mantan Direktur Utama kembali membuka fakta baru.
Dalam persidangan teranyar, Bupati Kutai Kartanegara Edy Damansyah menegaskan bahwa aliran dana sebesar Rp50 miliar ke perusahaan swasta PT Petro T&C yang merupakan bentukan Iwan Ratman, tanpa melalui persetujuan pemegang saham.
Pernyataan ini disampaikan oleh Edy Damansyah di dalam persidangan perkara rasuah di tubuh Perusda PT MGRM milik Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, yang kembali digelar secara daring di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Samarinda, Kamis (30/9/2021) sore tadi.
Persidangan ini kembali menghadirkan terdakwa Iwan Ratman sebagai pesakitan. Seperti diketahui, Iwan Ratman didakwa melakukan tindak pidana korupsi pengerjaan proyek fiktif pembangunan tangki timbun dan terminal bahan bakar minyak (BBM), yang mengakibatkan negara menderita kerugian sebesar Rp50 miliar.
Proyek pembangunan tangki timbun dan terminal BBM itu rencananya dibangun di Samboja, Balikpapan, dan Cirebon. Namun pekerjaan itu tak kunjung terlaksana. Iwan Ratman lantas dituduh menilap uang proyek sebesar Rp50 miliar dengan cara dialirkan ke perusahaan swasta miliknya.
Dalam persidangan beragendakan pemeriksaan keterangan saksi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim, Zaenurofiq sebenarnya menghadirkan sebanyak lima orang saksi. Yang merupakan bagian dari internal PT MGRM, Perbankan dan Pemkab Kukar.
Namun dari seluruh saksi yang dihadirkan JPU, majelis hakim yang dipimpin Hasanuddin selaku ketua majelis hakim, didampingi Arwin Kusmanta dan Suprapto sebagai hakim anggota, hanya berkesempatan memintai keterangan dari dua orang saksi. Lantaran keterbatasannya waktu.
Kedua orang yang dimintai kesaksiannya itu adalah Bupati Kukar Edy Damansyah sebagai pemegang saham mayoritas PT MGRM sebesar 99 persen dan Meli Halim Presiden PT MGRM yang bertugas sebagai usaha di Perusda milik Pemkab Kukar tersebut.
Persidangan yang kembali dibuka dengan ditandai ketukan palu dari Ketua Majelis Hakim. Mengawalinya dengan memintai keterangan dari Bupati Kukar, untuk menyampaikan pengetahuannya atas tindakan rasuah terdakwa Iwan Ratman yang diduga menyelewengkan dana PT MGRM sebesar Rp50 miliar.
Diawal persidangan, orang nomor satu di Kabupaten Kutai Kartanegara itu lebih dahulu menyampaikan perihal kepemilikan saham di PT MGRM. Dijelaskannya bahwa saham sebesar 99 persen dipegang oleh Pemkab Kukar dalam hal ini adalah pejabat Bupati.
Sedangkan sisa saham sebesar 0,6 persen dipegang oleh perusahaan Tunggang Parangan dan 0,4 persen dimiliki oleh perusahaan Ketenagaan Kelistrikan. Selanjutnya, Bupati Kukar menjelaskan mengenai tujuan dibentuknya perusahaan PT MGRM.
Adalah guna menampung dana deviden atau pembagian untung dari PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) sebesar 10 persen. Singkatnya, diketahui bahwa di tahun 2018 Pemkab Kukar mendapatkan pembagian hasil. Namun dana deviden itu baru diberikan PT PHM ke Pemkab Kukar di tahun 2019. Yakni sebesar Rp192 miliar.
"Kemudian dana itu dibagi, untuk yang masuk ke kas daerah Pemkab Kukar itu sebesar Rp118 miliar. Dari dana yang masuk ke Pemkab Kukar ini menyisakan Rp70 miliar. Yang kemudian masuk ke Kas PT MGRM untuk dikelola," ungkap JPU Zaenurofiq ketika dikonfirmasi usai persidangan.
Setelah menjelaskan hal itu, Majelis Hakim mempertanyakan pengetahuan Edy Damansyah selaku Bupati Kukar perihal adanya penggunaan anggaran PT MGRM yang tak semestinya dilakukan oleh terdakwa. Edy Damansyah dengan tegas mengatakan bahwa dirinya tak mengetahui. Hanya, baru mengetahui setelah adanya laporan keuangan.
"Di dalam persidangan kami sempat mempertanyakan Bupati Kukar sebagai pemegang saham mayoritas, apakah dirinya mengetahui terkait dengan pembelian saham yang menghabiskan dana sebesar Rp10 dan Rp40 milar. Dengan total keseluruhan Rp50 miliar," terang Zaenurofiq.
"Bupati mengaku tidak pernah mengetahui dan tidak pernah menerima laporan pengeluaran dana tersebut dari PT MGRM. Bupati hanya mengetahui ketika dirinya menerima laporan keuangan dari PT MGRM, dia melihat bahwa ada pinjaman dana dari PT Petro T&C ke PT MGRM sebesar Rp10 miliar yang tanpa melalui RUPS maupun RKAP dan tanpa persetujuan komisaris," sambungnya.
Dari hasil laporan keuangan yang diterima Bupati ini, akhirnya didalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang berlangsung di tahun 2019 silam, diminta pertanggungjawaban kepada direksi. Dalam hal ini terdakwa selaku Direktur Utama, untuk mengembalikan dana yang telah dipinjam PT Petro T&C sebesar Rp10 miliar kembali nke Rekening Kas PT MGRM.
"Jadi telah direkomendasikan di dalam RUPS agar terdakwa selaku direksi untuk segera mengembalikan dana pinjaman PT Petro T&C ke PT MGRM," jelas pria yang akrab disapa Rofiq tersebut.
Sementara itu, ketika dipertanyakan oleh JPU terkait dana PT MGRM yang dikeluarkan sebesar Rp40 miliar, guna membeli saham di pembangunan tangki timbun dan terminal BBM. Edy juga mengaku tidak mengetahuinya. Lantaran terdakwa memang tidak pernah melaporkan hal tersebut ke pemegang saham mayoritas.
"Terdakwa disebutkan tidak pernah memberitahukan telah mengeluarkan dana sebesar Rp40 miliar itu, untuk mengakuisisi saham pembangunan tangki timbun dan terminal BBM," bebernya.
Edy Damansyah mengakui, baru mengetahui perihal penyelewengan penggunaan anggaran itu, setelah adanya temuan dari Badan Pemeriksaan Keuangan Provinsi (BPK) Kaltim. Tatkala tengah melaksanakan pemeriksaan audit terkait pengelolaan keuangan di PT MGRM sebagai Perusda kepemilikan Pemkab Kukar.
"Ternyata dari hasil pemeriksaan BPK itu ditemukan adanya pengeluaran anggaran, dengan total Rp40 miliar di tahun 2020. Dan ini tanpa melalui mekanisme yang seharusnya. Yakni dengan tanpa melalui RUPS dan RKAP. Namun dana ini bisa langsung keluar," katanya.
Sehingga atas temuan tersebut, BPKP Kaltim memberi rekomendasi agar Direktur Utama dalam hal ini terdakwa, segera mengembalikan dana yang sudah dikeluarkan dari PT MGRM tersebut. Yakni sebesar Rp40 miliar.
"Dari laporan inilah bupati tau adanya penyelewengan pengelolaan keuang di PT MGRM," imbuhnya.
Majelis Hakim dan JPU turut mempertanyakan pengetahuan Edy Damansyah perihal rencana proyek pembangunan tangki timbun dan terminal BBM di Samboja, Balikpapan dan Cirebon tersebut. Dikatakan Edy, bahwa rencana proyek itu sebenarnya telah dibahas didalam Rapat Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) di Tahun 2019 dan 2020 silam.
"Memang ada skema rencana bisnis yang disampaikan oleh terdakwa untuk menjalankan bisnis proyek tangki timbun dan terminal BBM. Seperti yang disampaikan saksi lain, bahwa skema rencana bisnis yang disampaikan oleh terdakwa kala itu adalah skema golden share," ujarnya.
"Disampaikan bahwa rencana kerja itu, pihak PT Petro T&C yang akan bertugas untuk mencarikan investor membangun tangki timbun dan terminal BBM itu. Sedangkan nanti pihak PT MGRM ini hanya sebagai operator yang tugasnya mengurus perizinan di Pemkab Kukar. Itu saja yang disampaikan terdakwa di RUPS," sambungnya.
Dalam skema Golden Share itu juga disampaikan, bahwa PT MGRM akan mendapatkan keuntungan sebesar 20 persen. Selebihnya tidak ada pembahasan mengenai PT MGRM yang justru harus mengeluarkan dana untuk membeli saham pembangunan tangki timbun dan terminal. Serta meminjamkan uang ke PT Petro T&C.
"Intinya bupati tidak pernah mengetahui keluarnya anggaran itu. Karena PT MGRM tidak ada anggarannya, tahu-tahu di saat lihat laporan keuangan yang ternyata sudah ada pengeluaran dana sebesar Rp50 miliar peminjaman dan pembelian saham temuan BPK. Yang bersumber dari dana PI itu," jelasnya.
Singkatnya, dari hasil temuan BPK, terdakwa tidak bisa mempertanggung jawabkan. Laporan keuangan yang sempat diserahkan itupun ditolak dan dianggap sebagai penyelewengan sekaligus temuan BPK.
Rofiq pun menjelaskan perihal dakwaan terhadap Iwan Ratman yang dianggap telah menguntungkan diri sendiri, perusahaan dan orang lain tersebut. Hal itu mengenai perjanjian pembelian saham antara PT Petro T&C dan PT MGRM, yang terjadi di Bulan April 2019.
Diketahui, pada saat perjanjian itu diteken, rupanya terdakwa masih berstatus sebagai Direktur PT Petro T&C. Sehingga dengan kuasanya sebagai pimpinan di dua perusahaan itu, Iwan Ratman melakukan perjanjian sendiri.
Sementara itu, Meli Halim sebagai presiden PT MGRM yang dimintai keterangan didalam persidangan, mengaku hanya mengetahui adanya penawaran saham yang diajukan oleh PT Petro T&C di dalam proyek pembangunan tangki timbun dan terminal BBM.
"Kemudian saksi ini melakukan kajian dan sempat dijanjikan bila proyek pembangunan tangki timbun dan terminal BBM ini selesai, dijanjikan mendapatkan dana sebesar Rp130 milar apabila nantinya PT MGRM mau menanamkan saham sebesar Rp40 miliar tersebut," tutupnya.
Setelah meminta keterangan kedua saksi, sidang terpaksa ditutup lantaran keterbatasan waktu. Sidang akan kembali dilanjutkan pada Kamis (7/10/2021) mendatang. Masih dengan agenda pemeriksaan keterangan saksi.
Seperti diketahui, mantan TOP CEO BUMD itu didakwa telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, hingga sebesar Rp50 miliar. Atau setidak-tidaknya dari jumlah uang tersebut, telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp 50 miliar.
Dugaan korupsi ini terkait pengalihan dana sejumlah Rp50 Miliar ke PT Petro T&C Internasional, dengan dalih sebagai rangka pelaksanaan perjanjian kerja sama proyek tangki timbun dan terminal BBM di Samboja, Balikpapan, dan Cirebon.
Sedangkan Iwan Ratman sendiri merupakan pemilik sekaligus pemegang saham di PT Petro T&C International. Dari perusahaan inilah, diduga terdakwa Iwan Ratman menilap uang puluhan miliar tersebut.
Kerugian yang diderita negara, sebagaimana tertuang dari hasil Laporan Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Kalimantan Timur, dengan Nomor LAPKKN-74/PW.17/5/2021 tertanggal 16 April 2021.
Atas dugaan perbuatannya, Iwan dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1), Junto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan atas UU Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Junto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUH Pidana.
Serta subsider Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana KorupsI, Junto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana. (tim redaksi Diksi)