DIKSI.CO, SAMARINDA - Kritik diberikan Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah untuk usulan proyek Multi Years Contract (MYC) Pemprov Kaltim.
Diketahui, 2 usulan MYC itu adalah Flyover di Balikpapan dan penambahan bangunan gedung di RSUD AW Sjahranie.
Diduga usulan itu diselundupkan saat pembahasan RAPBD 2021 dengan cara dipaksakan. Bahkan jika tidak disetujui usulan itu, maka pemerintah mengintervensi dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur untuk skema APBD 2021.
"Proyek MYC tidak boleh asal main diselundupkan begitu. Apalagi dengan nilai anggaran yang cukup besar, ditambah belum adanya hasil kajian yang memadai, maka memaksakan proyek MYC macam itu, berpotensi melahirkan perbuatan melawan hukum yang mengarah kepada tindak pidana korupsi," kata Herdiansyah Hamzah yang akrab disapa Castro, Minggu (15/11/2020).
Sebab, lanjut dia, proyek MYC yang diselundupkan, sudah pasti membuka ruang transaksional berupa tawar menawar diantara pihak yang berkepentingan dengan mereka yang memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan anggaran.
Selain itu, kata Castro, Kaltim juga punya pengalaman secara historis, bagaimana proyek MYC itu rentan dengan suap dan gratifikasi. Terlebih, jika disetujui tanpa perencanaan yang matang, dan jauh dari pengawasan publik.
"Beberapa waktu lalu, anggota-anggota DPRD Kaltim sempat diterpa isu gratifikasi Rp 8 miliar terkait proyek MYC. Kendatipun dugaan kasus tersebut urung diproses secara hukum, namun bukan berarti tidak ada masalah dalam perkara tersebut," sindirnya.
Kalau kemudian isu menyelundupkan proyek MYC ini mencuat, Castro menduga, berarti memang ada masalah. Sebab segala hal yang cenderung dipaksaan, bahkan tanpa melalui kajian yang layak dan memadai, maka sudah bisa dipastikan ada indikasi kuat itikad buruk di sana.
"Begitu kogikanya! Jadi tinggal melacak, siapa sesungguhnya pihak yang memaksakan atau berencana menyelundupkan proyek MYC tersebut? Apakah ada dugaan kuat perbuatan melawan hukum menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk kepentingan pribadi? Ini yang mesti diawasi oleh publik, termasuk harus dipantau oleh aparat penegak hukum," ungkap Castro menegaskan.
Seperti diketahui, dugaan gratifikasi pernah diungkap Tribun Kaltim Online. Dalam sajian berita Tribunkaltim.co, indikasi kuat adanya dugaan gratifikasi dari proyek fisik itu, berdasarkan seorang anggota DPRD Kaltim pernah membuat surat laporan yang ditujukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, surat laporan yang telah ditandatangani tanggal 27 Maret 2019, urung disampaikan ke lembaga anti rasuah.
Dalam surat itu, tertulis perihal atau pemberitahuan Diduga Menerima SUAP.
Surat tersebut ditujukan ke KPK dengan menjelaskan kronologi peristiwa.
Disebutkan, bahwa dalam kurun waktu tahun 2018-2019 di Wilayah Hukum Kota Samarinda, Provinsi Kaltim, sesuai informasi yang berkembang dalam internal Dewan (DPRD Provinsi Kaltim) di Jalan Teuku Umar, Kota Samarinda.
Dinas PUPR Provinsi Kaltim, kabarnya telah memberikan uang tunai yang jumlahnya sebesar Rp 8.000.000.000,00 (Delapan Miliar Rupiah) kepada oknum anggota DPRD Prov. Kaltim.
Dalam penerimaan tersebut disepakati bersama berupa DP (down payment).
Kekurangannya diperjanjikan akan diserahkam kemudian.
Bahwa pemberian uang sebagaimana dimaksud pada angka point 1 tersebut diatas, diduga kuat diterima langsung oleh OKNUM ANGGOTA DPRD. Prov. Kaltim, para penerima mendalilkan uang sejumlah tersebut akan dibagikan kepada seluruh anggota Dewan yang berjumlah 55 anggota termasuk para penerima suap.
Lembaga Penyelidikan dan Pengawasan Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (LP3KRI) secara resmi melaporkan ke Kejati Kaltim, Jumat (31/5/2019).
Surat yang ditujukan Kepala Kejati Kaltim, melalui surat bernomor : 083/ DPP/LPPPK-RI /V/2019. Perihal Dugaan Gratifikasi Anggota DPRD Kaltim.
Beberapa dokumen yang diserahkan LP3KRI antara lain, sejumlah data proyek multiyears contract (MYC) dan surat kabar harian Tribun Kaltim. Staf Intelijen Kejati Kaltim, Wahyu menerima laporan dari LP3KRI.
Ketua LP3RI Sukri Ummi mengatakan, laporan resmi ini harus segera ditindaklanjuti. Ia berharap laporan ini bisa menggali lebih dalam lagi untuk menelusuri dengan meminta keterangan sejumlah pihak-pihak terkait.
"Informasi yang kami dapat, diduga lebih dari enam anggota yang menerima fee," tutur Sukri. "Itu sejak tahun 2015 sampai 2018 dan 2019," lanjut Sukri, usai meyerahkan laporan resmi ke Kejati Kalimantan Timur. (tim redaksi Diksi)