DIKSI.CO, SAMARINDA - Kasus korupsi proyek fiktif pembangunan Tangki Timbun dan Terminal Bahan Bakar Minyak (BBM) di Perusahaan Daerah (Perusda) PT Mahakam Gerbang Raja Migas (MGRM), kembali digelar dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Samarinda pada Senin (27/9/2021) sore kemarin.
Di persidangan yang masih beragendakan pemeriksaan keterangan saksi ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Zaenurofiq dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Kaltim menghadirkan 3 orang saksi. Di antaranya Direktur Utama (Dirut) PT Petro T&C Internasional Febby Zidni Ilman, yang juga merupakan suami dari keponakan terdakwa Iwan Ratman.
Kemudian, Komisaris PT Petro TNC Internasional, Nabila Wiriawan Putri, pemegang 20 persen saham perusahaan, dan juga anak kandung terdakwa dan Direktur Operasional PT Petro TNC Internasional, Alfina Mayshadika Mulyadi, yang juga merupakan keponakan Iwan Ratman.
Ketiga orang saksi itu disebutkannya mengetahui perihal rencana terdakwa Iwan Ratman, yang menjabat Direktur Utama di PT MGRM ssat hendak membangun tangki timbun dan terminal bahan bakar minyak (BBM).
Namun pengerjaannya urung terlaksana, lantaran diketahui terdakwa diam-diam telah mengalirkan anggaran PT MGRM sebesar Rp50 miliar ke PT Petro T&C Internasional. Dengan dalih kerja sama ataupun penanaman investasi ke perusahaan swasta bernama PT Petro T&C.
"Jadi karena yang ada hubungan darah itu Nabila dan Alfina, sehingga keduanya tidak jadi. Sehingga hanya Febby yang diminta keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan," kata Rofiq ketika dikonfirmasi ulang pada Selasa (28/9/2021).
Rofiq menyampaikan, Febby sebagai saksi dalam keterangannya membenarkan kalau dirinya merupakan Dirut PT Petro T&C Internasional yang menandatangani surat perjanjian pinjaman dana dan pembelian saham PT MGRM dengan total senilai Rp50 miliar.
Namun, saksi mengaku hanya menandatanganinya saja sebab tidak memiliki akses terkait pengelolaan keuangan di perusahaan tersebut. Bahkan, dana yang masuk itu pun tak dapat diaksesnya. Hanya terdakwa Iwan Ratman yang memiliki kewenangan untuk mengelola dalam mengeluarkan ataupun menggunakan dana tersebut.
Diketahui, perjanjian pertama pembuatan tangki timbun itu pada 15 April 2019 silam saat terdakwa Iwan Ratman menjadi Dirutnya. Sedangkan saksi resmi menggantikan terdakwa Iwan Ratman sebagai Dirut itu tertanggal 7 Juli 2020, berdasarkan waktu yang terdaftar di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Kementerian Hukum dan HAM RI.
Sehingga, saksi dari keterangannya mengaku tidak pernah membuat surat perjanjian kerja (SPK) ataupun surat penawaran pembelian saham di PT MGRM.
"Bisa dibilang dia (saksi) hanya nama saja yang di tempel di PT Petro, tidak punya kewenangan, tidak pernah rapat kepada jajaran direksi dan terima gaji," ucap Rofiq.
Kedepannya, apabila diperlukan pihaknya akan mengusulkan agar kedua saksi yang belum memberikan keterangannya ini dapat bersaksi tidak di bawah sumpah. Selain itu juga akan menghadirkan notaris yang membuat akta perjanjian.
Sidang yang dipimpin langsung oleh Hasanuddin selaku Ketua Majelis Hakim. Dengan didampingi Arwin Kusmanta dan Suprapto sebagai Hakim Anggota akan kembali berlanjut pada Kamis (30/9/2021) mendatang.
Seperti diketahui, mantan TOP CEO BUMD itu didakwa telah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, hingga sebesar Rp50 miliar. Atau setidak-tidaknya dari jumlah uang tersebut, telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp50 miliar.
Dugaan korupsi ini terkait pengalihan dana sejumlah Rp50 Miliar ke PT Petro T&C Internasional, dengan dalih sebagai rangka pelaksanaan perjanjian kerja sama proyek tangki timbun dan terminal BBM di Samboja, Balikpapan, dan Cirebon.
Sedangkan Iwan Ratman sendiri merupakan pemilik sekaligus pemegang saham di PT Petro T&C International. Dari perusahaan inilah, diduga terdakwa Iwan Ratman menilap uang puluhan miliar tersebut.
Kerugian yang diderita negara, sebagaimana tertuang dari hasil Laporan Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Kalimantan Timur, dengan Nomor LAPKKN-74/PW.17/5/2021 tertanggal 16 April 2021.
Atas dugaan perbuatannya, Iwan dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1), Junto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan atas UU Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Junto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUH Pidana.
Serta subsider Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana KorupsI, Junto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana. (tim redaksi Diksi)