"Enggak setuju. Karena nama itu (Nusantara) tidak menggambarkan kearifan lokal," tegasnya.
Kepada media ini, Adit pun memberikan percontohan semisal Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki pemerintahan setingkat gubernur, namun masih tetap mengedepankan kearifan lokalnya.
"Kalau kaya Jogja itu kan masih ada lokal-lokalnya. Seharusnya pemerintah bisa mempertimbangkan ke arah situ juga," harapnya.
Hal senada pun diutarakan Sasya Febriani. Penamaan Nusantara sebagai wajah baru IKN di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan sebagian lain di Kutai Kartanegara (Kukar) itu dinilai Sasya justru membuat kerancuan ketika diucapkan.
"Kalau saya enggak setuju. Misalnya gini, ada yang tanya mau ke mana, masa kita jawab mau ke Nusantara? Kan agak rancu ya ngomongnya," tanya Sasya.
Kerancuan yang diutarakan Sasya bukan tanpa alasan, sebab menurut perempuan berjilbab itu pengunaan nama Nusantara telah dimaknai untuk kata ganti Indonesia.
"Misalnya gini, biasa kalo kita mau jalan terus jawab mau ke Jakarta kan enak nyebutnya. Sementara Nusantara itu kan biasa dipakai untuk menggambarkan Indonesia secara keseluruhan. Kalau dipakai untuk wilayah yang kecil dan nama tempat jadi agak aneh dan juga seharusnya ada memuat kearifan lokal," tandasnya. (tim redaksi Diksi)