Proyek Kandang Ayam Percontohan Kukar Merugi Akibat Dilanda Wabah

DIKSI.CO, SAMARINDA – Suara ayam di kandang percontohan Desa Bendang Raya, Kutai Kartanegara (Kukar), kini tak lagi seramai dulu.
Dari ribuan ekor ayam yang dulu pernah memenuhi kandang berukuran 12 x 80 meter itu, hanya tersisa beberapa puluh yang masih bertahan.
Selebihnya, mati disapu wabah penyakit yang melanda beberapa bulan terakhir.
Proyek yang semula digadang-gadang menjadi model peternakan modern berbasis masyarakat itu kini justru mengalami kerugian besar.
Padahal, proyek kandang ayam percontohan ini dibangun menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kukar tahun 2023 dengan nilai fantastis mencapai Rp 4,5 miliar.
Ketua Kelompok Tani Buluh Gading, Delsy Syamsumar akrab disapa Dede tak menampik kenyataan pahit tersebut.
Ia adalah sosok di balik berdirinya proyek ini, sekaligus pemilik lahan yang kini diserahkan sepenuhnya untuk kepentingan kelompok tani di desanya.
“Tanah itu awalnya milik pribadi saya. Tapi saya hibahkan untuk kelompok agar bisa digunakan sebagai kandang ayam percontohan. Setelah itu kami dapat bantuan dari pemerintah daerah untuk pembangunan kandang,” tutur Dede saat dikonfirmasi, Selasa (11/11/2025).
Bangunan megah itu memang tampak kokoh.
Ada kandang utama yang mampu menampung hingga 10 ribu ekor ayam, pondok pekerja seluas 12 x 12 meter, gudang pakan dan sekam berukuran 10 x 12 meter, serta sebuah gazebo kecil di sudut lahan yang biasa digunakan anggota kelompok untuk rapat dan istirahat.
Namun, di balik kelengkapan fasilitasnya, perjalanan proyek ini tidak semulus yang diharapkan.
Dalam delapan kali periode pemeliharaan, tiga kali di antaranya berakhir gagal total. Ayam-ayam mati sebelum sempat dijual akibat serangan penyakit unggas yang menyebar cepat.
“Periode pertama dan kedua hasilnya masih bisa dibilang minim, tapi lumayan. Masuk periode ketiga, keempat, dan keenam, semuanya gagal total,” ungkap Dede.
Dari satu periode yang dianggap berhasil, kelompok sempat meraup keuntungan hingga Rp 61 juta. Tapi kegembiraan itu tak bertahan lama.
Tiga kali kegagalan panen berikutnya membuat kelompok menanggung kerugian kumulatif sekitar Rp 60 juta.
“Periode kedelapan kami cuma balik modal saja. Karena proses pengambilannya telat, ayam sudah terlalu besar dan biaya pakan membengkak,” jelasnya.
Dalam satu periode, kelompok mengeluarkan biaya operasional sekitar Rp 19 juta hingga Rp 22 juta. Itu belum termasuk upah untuk anak buah kandang (ABK) yang bertugas merawat ayam setiap hari.
Sementara untuk bibit, pakan, dan obat-obatan, semua dipenuhi lewat kemitraan dengan PT Karomah Mitra Sejahtera, perusahaan yang memasok kebutuhan peternakan sekaligus membeli ayam hasil panen.
“Secara sistem sebenarnya sudah bagus, kami ikut pola kemitraan. Tapi begitu ada wabah, semua jadi berantakan. Penyakit itu menyerang cepat dan hampir semua ayam mati,” kata Dede.
Meski begitu, ia tidak ingin menyalahkan siapa pun. Bagi Dede, proyek ini sudah memberi banyak pelajaran berharga, terutama bagi anggota kelompoknya yang sebagian besar baru pertama kali belajar beternak ayam skala besar.
Kandang ayam percontohan ini juga menjadi tempat belajar bagi siswa SMK Peternakan Tenggarong yang sedang melaksanakan praktik kerja lapangan (PKL).
Saat ini, tiga siswa masih aktif membantu operasional di lokasi sembari mempelajari teknik perawatan unggas modern.
“Setidaknya kandang ini tidak hanya tempat usaha, tapi juga tempat belajar. Kami ingin terus membuka diri bagi anak-anak sekolah agar bisa belajar langsung di lapangan,” ujarnya.
Namun, di sisi lain, proyek senilai miliaran rupiah ini mulai menuai pertanyaan di kalangan warga dan pemerhati kebijakan publik.
Mereka menyoroti efektivitas penggunaan dana APBD dalam proyek-proyek percontohan yang belum sepenuhnya memberi hasil nyata bagi masyarakat.
Apalagi, proyek ini sebelumnya diproyeksikan menjadi model peternakan unggas modern berbasis kelompok masyarakat desa, yang diharapkan dapat ditiru di wilayah lain di Kutai Kartanegara.
Dede sendiri tak menampik bahwa ke depan kelompoknya butuh pendampingan teknis lebih intensif, terutama dari dinas terkait.
Ia berharap pemerintah tidak langsung menutup mata hanya karena proyek ini sedang merugi.
“Namanya peternakan, pasti ada masa gagal dan masa untung. Kami cuma butuh pendampingan lagi, mungkin dalam hal pencegahan penyakit atau manajemen pakan,” katanya.
Ia juga mengaku, semangat para anggota kelompok masih tinggi. Mereka sudah terlanjur menaruh harapan besar pada kandang percontohan itu.
Apalagi, selain menjadi sumber penghidupan, proyek ini juga telah menumbuhkan rasa kebersamaan dan tanggung jawab di antara warga desa.
“Walau sempat gagal, kami tetap jalan. Karena kalau berhenti sekarang, semua yang sudah dibangun akan sia-sia,” tutupnya.
Kini, di tengah aroma sekam dan kandang yang setengah kosong, para peternak Buluh Gading masih bertahan. Mereka berharap, di balik kegagalan ini, ada kesempatan untuk bangkit.
Sebab, bagi mereka, kandang ayam percontohan bukan sekadar proyek bernilai miliaran rupiah—tetapi simbol semangat masyarakat desa yang ingin berdiri di atas kakinya sendiri. (tim redaksi)