Sabtu, 23 November 2024

PKL Tepian Mahakam Gelar Aksi Penolakan, Pengamat Tata Kota Ingatkan Pentingnya Aturan RTH

Koresponden:
diksi redaksi
Rabu, 5 Oktober 2022 16:24

Ilustrasi Tepian Mahakam/HO

DIKSI.CO, SAMARINDA - Perkara penertiban pedagang kaki lima (PKL) di Tepian Mahakam terus menuai pro dan kontra.

Setelah rapat dengar pendapat oleh Komisi II DPRD Samarinda dengan Pemkot Samarinda dan Ikatan Pedagang Tepian Mahakam (IPTM) yang usai digelar dengan hasil penutupan sementara.

Namun demikian penolakan pasalnya tetap bergema dari para PKL lainnya. Khususnya mereka yang menggelar lapak diluar dari kesepakatan antara IPTM dengan Pemkot Samarinda dengan menggelar aksi di depan kantor ke-gubernuran Kaltim dengan tajuk ‘Wali Kota Samarinda Diskriminatif Kami Menolak Digusur, Jangan Gusur PKL, Selesaikan Masalah Tambang dan Banjir’ pada Rabu (5/10/2022).

“Aksi itu untuk menyampaikan aspirasi mereka (PKL), karena mereka tidak boleh berjualan lagi dan itu sama saja dengan penggusuran. Jadi mereka kehilangan mata pencarian,” ucap Fathul Huda LBH Samarinda yang mendampingi aksi PKL Tepian Mahakam.

Saat disinggung para PKL telah bergadang di area ruang terbuka hijau (RTH) yang kini sedang ditata pemerintah untuk mengembalikan fungsional utamanya, Fathul dengan tegas meminta agar patokan aturan itu harus disamaratakan dari hulu hingga ke hilir Tepian Mahakam.

“Memang di sepanjang sungai itu bagusnya digunakan untuk RTH. Tapi kalau kita mau konsisten sama peraturan ya itu kenapa Marimar, Taman Lampion, Hotel Harris, Bigmall tidak dijadikan RTH. Itu kalau kita mau konsisten ya. Itu lebih besar loh ruangnya untuk RTH,” tegasnya.

Dalil perluasan RTH yang digaungkan pemerintah untuk menertibkan PKL di Tepian Mahakam jelas ditolak Fathul. Sebab menurut dia, ada banyak permasalahan yang jauh lebih penting dan krusial yang selalu menjadi momok Kota Tepian. Semisal banjir dan tambang ilegal.

“Jangan izin tambang aja digedein, banjir tidak diperhatikan. Terlalu receh sebetulnya kalau mau mentertibkan pedagang di tepian itu,” tambahnya.

Dengan kondisi ekonomi yang baru mulai bangkit setelah dua tahun digempur pandemi Covid-19, Fathul pun menekankan kalau para pedagang siap mengikuti seluruh aturan yang akan dikeluarkan pemerintah. Apabila mereka diakomodir dan tetap diberi ruang untuk terus berjualan di Tepian Mahakam.

“Iya siap lah. Mereka sendiri yang bilang, mau bayar retribusi daripada mereka ngikut lapak diikuti pemkot bisa liat penarikannya, ditambah pendapatan minimalis,” timpalnya.

Sementara itu massa aksi yang terpantau melibatkan anak di bawah umur dengan memegang alat praga ditegaskan Fathul bukanlah sebuah eksploitasi anak sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 87 UU 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Kata Fahtul, anak-anak itu ikut merupakan sebuah spontanitas karena orang tua mereka yang merupakan PKL sedang melakukan aksi konprensi pers di Tepian Mahakam.

“Itu bukan aksi. Aksi itu harus ada pemberitahuan kepada pihak kepolisian. Itukan konprensi pers. Konteksnya berbeda, kan diundangan juga konprensi pers. Kalau itu aksi, logikanya ngapain kita lakukan itu di depan kantor gubernur,” terangnya.

Sementara itu menurut Pengamat Tata Kota, Warsilan pro kontra yang terjadi di Tepian Mahakam merupakan persoalan pelik antar peraturan tata ruang dan kondisi sosial masyarakat.

Namun demikian Pengajar S2 Lingkungan di Universitas Mulawarman itu menyebut, kalau langkah pemkot mengembalikan fungsi kawasan bukanlah sesuatu yang salah.

“Tindakan Pemkot benar tidak salah, tetapi tak bisa dipungkiri ada masalah sosial yang juga harus dipikirkan, jadi harus ada RTH yang bisa juga digunakan untuk kepentingan wisata dan sosial masyarakat,” tutur Warsilan.

Lebih jauh diungkapkannya, kawasan Tepian memang menjadi lokasi pertemuan favorit masyarakat Kota Tepian dari tahun ke tahun.

Seiring berjalannya waktu, dengan adanya aktivitas, otomatis menimbulkan massa yang lebih besar. Termasuk dengan pedagang dan aktivitas ekonomi kerakyatan yang akhirnya berbenturan dengan kondisi kebutuhan RTH.

“Jadi kebutuhan RTH itu memang tidak bisa dihindari karena mencakup kebutuhan banyak hal (seperti paru-paru kota, penyerapan karbon dan menambah nilai estetika kota),” tambahnya.

Untuk diketahui, kebutuhan ruang terbuka hijau bagi Kota Tepian masih sangatlah banyak. Dari data terakhir dihimpun, ruang terbuka hijau yang telah dipenuhi Samarinda baru 5 persen dari kebutuhan dasar 30 persen.

Perhitungan 5 persen itu pun sudah mencakup beberapa kawasan di bibir sungai, termasuk relokasi di sempadan Sungai Karang Mumus (SKM) dan kawasan pinggir sungai lainnya yang masih ada di Kota Tepian.

Terpisah, Plh Kabid Tantribum Satpol PP Samarinda, Beny Hendrawan yang turut dikonfirmasi mengaku mengetahui adanya aksi yang dilakukan oleh puluhan PKL di Tepian Mahakam pada sore tadi.

“Pada intinya, PKL itu yang (beroperasi) tengah malam diluar dari kesepakatan. Kemudian meminta solusi bagaimana caranya?," ujar Beny.

Dengan tidak berubahnya rencana Pemkot Samarinda yang hendak meluaskan dan mengembalikan fungsi RTH Tepian Mahakam, hingga saat ini kawasan itupun masih terus disterilkan. Bahkan sejak tiga hari sebelumnya.

“Kondisi di tepian kami tetap amankan kawasan RTH ini, kebetulan kami sudah laksanakan tiga hari dari jam 3 sore sampai jam 5 subuh. Tim gabungan sekitar 80-90 personel (gabungan TNI-Polri),” tandasnya. (redaksi)

Tag berita:
Berita terkait
breakingnews