DIKSI.CO, SAMARINDA - Konflik agraria di pelosok Benua Etam masih terus terjadi. Perseteruan antar perusahaan dengan masyarakat adat terus mengemukan kepermukaan. Bahkan tak sedikit masyarakat menjadi sasaran hukum yang diduga sebagai upaya pelemahan agar perusahaan mampu mengeruk kekayaan bumi di Kalimantan Timur.
Berlokasi di Long Bentuk, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur (Kutim) pada Minggu (7/2/2021) siang tadi, masyarakat adat Dayak Modang menyuarakan dukungannya dengan mengecam dugaan upaya kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh kesukuan mereka yang membela dan memperjuangkan hak adat.
Dukungan masyarakat yang terdiri dari lembaga Justice, Peace and Integration of Creation (JPIC) SVD Distrik Kaltim, Komisi Keadilan dan Perdamaian (KKP) Kasri, Perkumpulan PADI Indonesia dan Perkumpulan Nurani Perempuan. Seruan ini merupakan bentuk solidaritas bersama atas peristiwa yang terjadi pada Jumat (5/2/2021) lalu, pukul 21.00 Wita lalu.
Diketahui, kala itu, sejumlah aparat kepolisian mendatangi masyarakat adat Dayak Modang, Long Wai di Long Bentuk yang sedang melakukan aksi damai dengan menutup akses mobilisasi pengangkutan CPO dan buah sawit milik perusahaan PT. Subur Abadi Wana Agung (PT. SAWA), anak perusahaan PT. Tri Putra Group, yang tepatnya kejadian berada di KM 16.
Penutupan jalan tersebut dilakukan melalui kesepakatan bersama yang sebelumnya digelar pada 30 Januari pekan lalu. Hasil rembuk tersebut disepakati, jika aksi harus dilakukan sebagai bentuk kekecewaan yang tak mendapatkan hak mereka atas wilayah hutan adat yang disulap menjadi kebun sawit.
Aksi pun dilakukan tak ujuk-ujuk begitu saja. Sebab kejadian ini telah terjadi sejak 11 tahun silam, namun tak pernah memiliki penyelesaian yang jelas. Ketika warga melakukan aksi, dikabarkan sejumlah aparat kepolisian tiba menyampaikan surat panggilan yang dilakukan Polres Kutai timur pada tiga tokoh masyarakat adat.
Hal itu dilakukan lantaran pihak kepolisian hendak memenuhi keterangan saksi atas aksi pemortalan jalan yang dilakukan masyarakat adat terhadap lintasan perusahaan dengan luas kerja sekira 4.000 hektare.
Tiga tokoh tersebut diketahui bernama Daud Lewing selaku Kepala Adat, Benediktus Beng Lui sebagai Sekretaris Adat dan Elisason selaku tokoh representatif pemerhati dan pembela hak-hak masyarakat sekaligus selaku bagian perwakilan dari Dewan Adat Dayak Kalimantan Timur (DAD-KT).
Masyarakat pun menilai kalau pemanggilan itu adalah upaya menghalang-halangi masyarakat yang menuntut hak mereka. Sebab ketika perusahaan diminta surat tugas kerja, mereka berkelit kalau secarik kertas tersebut telah tertinggal di dalam mess perusahaan.
Selain itu, kejanggaln yang dirasakan masyarakat yakni terkait legalitas aksi demo. Yang mana masyarakat dituding tidak memberikan surat pemberitahuan sebagaimana mestinya aksi demo.
Akan tetapi, demo saat itu terus berlanjut. Namun dalam setiap aksi damai tersebut aparat kepolisian terlihat mengawal ketat di lokasi tersebut. Pemortalan jalan pun pasalnya tidak serta-merta memutuskan akses lalu lintas. Karena kendaraan umum masih diperbolehkan melintas, namun hanya saja kendaraan perusahaan lah yang dilarang melintas.
Dengan demikian, maka masyarakat menilai kalau pemanggilan Porles Kutim terhadap tiga tokoh adat ini sebagai bentuk melemahkan perlawan masyarakat demi memenuhi hak-hak mereka. Yang mana sejatinya hal itu juga bertentangan dengan pengingkaran terhadap perlindungan dan prinsip pembangunan yang berkelanjutan serta penghormatan terhadap prinsip hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Hak dasar manusia yang harus dilindungi, dan dipenuhi agar manusia terlindungi martabat dan kesejahteraannya. Sebagaimana telah diratifikasi dalam UU No 11 tahun 2005 tentang Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial,dan Budaya. (tim redaksi Diksi)